Oleh Ny Widya Suwarna
Bobo Nomor 47/XXVIII/01
Suatu petang Pak Smith, seorang hakim, berjalan santai di sebuah desa. Ada satu perkara yang belum selesai dan membuat hatinya gundah. Pak Charles, seorang pengusaha kaya raya, belum lama ini meninggal. Sudah tujuh kali ia membuat surat wasiat di kantor pengacara. Surat wasiat yang ketujuh menyatakan: 50% kekayaannya untuk tiga yayasan sosial dan 50% lagi untuk tiga anaknya, Ben, Diane, dan Lorra. Namun, ternyata ada sebuah surat wasiat kedelapan yang dibuatnya tanpa pengacara. Bunyinya sebagai berikut:
... aku mewariskan hartaku untuk putra sulungku, Ben sebanyak 75% dan sisanya untuk kedua putriku, Diane dan Lorra. Dengan adanya surat wasiat ini, maka surat wasiat yang terdahulu kunyatakan batal ... - London, 31 Nopember 1998.
Tidak ada yang menyaksikan waktu surat wasiat itu dibuat. Juga tidak ada yang tahu mengapa Pak Charles membuat surat wasiat kedelapan tanpa pengacara. Sungguh aneh! Dan ia meninggal tanggal 2 Desember 1998 karena serangan jantung.
Pengacara menganggap surat wasiat kedelapan itu tidak sah. Karena tertulis tanggal 31 Nopember, sedangkan tanggal tersebut tidak ada. Bukankah jumlah hari di bulan Nopember hanya 30. Surat wasiat ketujuh pun sudah dinyatakan batal. Jadi bagaimana cara
... saya tidak tahu. Tapi, mungkin beliau akan memanggil polisi!"
"Polisi? Masuk akal. Tapi, bagaimana kalau yang mengancam itu anggota keluarganya? Malu juga jika melaporkan anggota keluarga sendiri ke polisi. Apalagi almarhum Pak Charles itu pengusaha terkenal!" ujar Pak Smith lagi.
"Ya, benar. Maaf, andai Pak Hakim yang menghadapi situasi seperti itu, apa yang akan Pak Hakim lakukan?" tanya George.
Kini Pak Smith yang berpikir. Lalu ia menjawab, "Kalau saya, saya akan memanggil pengacara dan membuat surat wasiat kesembilan!"
"Surat wasiat kesembilan. Ya, mengapa majikan saya tidak membuatnya? Menjelang kematiannya ia tampak murung dan sedih. Mungkin ia tidak ingat. Ia hanya membaca kitab suci di ruang perpustakaan berjam-jam lamanya!" kata George. "Bila sedang murung, ia biasa melakukan hal itu!"
"Ya, nanti kita pikirkan lagi. Terima kasih atas kedatanganmu. Tiga hari lagi ada sidang. Kuharap kau hadir, George!" kata Pak Smith.
Tiga hari kemudian sidang dibuka. Ketika anak almarhum Pak Charles hadir. George tidak kelihatan, mungkin ia tidak mendapat izin untuk hadir. Sesudah kata-kata pembukaan, Pak Smith berkata, "Surat wasiat kedelapan tidak sah, karena ada kekeliruan tanggal. Surat wasiat ketujuh sudah dibatalkan. Jadi kita harus bermusyawarah untuk menentukan pembagian warisan ini!"
"Surat wasiat kedelapan itu menyatakan keinginan almarhum. Soal salah tulis tanggal, seharusnya bisa diabaikan, Pak Hakim!" kata Ben.
Tiba-tiba saja George muncul tergopoh-gopoh masuk ke ruangan sidang. Ia mengacungkan sehelai amplop. "Maaf, Pak Hakim. Saya menemukan surat wasiat kesembilan!" serunya, lalu menyerahkan amplop itu ke tangan Pak Hakim. Pak Hakim minta izin untuk membuka amplop dan para ahli waris mengizinkan.
Suasana sangat tegang. Pak Hakim membaca surat itu di dalam hati, lalu berbisik sesuatu kepada rekannya. Rekannya bangkit dan keluar dari sidang.
"Bacakan saja sekarang, Pak Hakim!" pinta Ben.
"Mohon sabar. Kita tunggu rekanku kembali ke tempat ini!" kata Pak Smith.
Detik lepas detik berlalu. Suasana sangat hening. Anak-anak Pak Charles, juga George tampak tegang. Rekan Pak Hakim kembali dan surat wasiat pun dibacakan. Lima puluh persen harta Pak Charles dibagikan untuk tiga yayasan sosial. Dua puluh persen untuk Diane, 20% untuk Lorra, dan 10% untuk George, sang pelayan yang setia yang sudah mengabdi puluhan tahun.
Almarhum juga menyatakan dalam suratnya antara lain:
... mudah-mudahan surat wasiat kesembilan ini ditemukan dan diproses sebagaimana mestinya. Dengan sangat menyesal saya membuat pengakuan bahwa putra saya sendiri, Ben, telah menyuruh saya membuat surat wasiat kedelapan dan mengancam akan membunuh saya. Karena itulah saya menulis tanggal 31 Nopember, bukan 30 Nopember dan Ben tidak menyadarinya. Saya menyerahkan Ben pada yang berwajib ....
Saat itu juga Ben ditangkap oleh polisi yang sudah dipanggil oleh rekan Pak Smith.
"Ketika Pak Hakim menyebutkan surat wasiat kesembilan, saya merasa mungkin surat itu benar-benar ada. Saya mencarinya di kitab suci, karena biasanya almarhum majikan saya suka menyelipkan surat penting di sana!" cerita George. "Dan ternyata memang ada. Tuhan telah menunjukkan jalan sehingga warisan bisa dibagi sesuai keinginan almarhum majikan saya."
"Saya juga merasa Tuhan menolong saya dalam menangani kasus ini!" kata Pak Smith dengan rasa puas. ***
Hai! Terima kasih telah membaca kliping cerita ini. Kalaukamu suka membaca kliping sejarah juga, silakan berkunjung ke http://klipingsejarahku.blogspot.com/.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kumpulan Cerpen dan Dongeng Bobo 2001
Historia CortaD A F T A R I S I Bobo Nomor 8 Tahun XXIX 24 Mei 2001 - Cerpen "Jangan Bukan Amplop Ini" oleh Ellen Kristi - Dongeng "Lelaki Penunggang Beruang" oleh Ayu S. Aulina - Cerpen "Pengalaman Baru Pino" oleh Ny. Widya Suwarna Bobo Nomor 9 Tahun XXIX 31 M...