Oleh Benny Rhamdani
Bobo Nomor 35 Tahun XXIX 29 November 2001
Kemarin malam selepas salat tarawih Danu baru sadar kalau arlojinya sudah tidak ada di lengan kirinya. Mukanya pucat seketika karena arloji itu baru dibelikan Ayah dua hari lalu. Akhirnya ia sibuk mencari-cari arlojinya di sekitar masjid begitu para jamaah bubar.
"Cari arloji yah, dik Danu?" suara itu terdengar khas ketika Danu mencari di sekitar ruang berwudhu.
"Iya. Mang Ujang melihatnya?" Danu balik bertanya.
"Tadi Mamang memang menemukannya di atas bak wudhu," kata Mang Ujang sambil menyerahkan arloji milik Danu.
Danu baru teringat, ia memang melepas arlojinya saat berwudhu. Diletakkannya di sisi bak. Rupanya ia lupa memakainya kembali. Untung saja Mang Ujang menemukannya. Itu sebabnya Danu merasa harus berterima kasih kepada Mang Ujang. Tidak cuma lewat ucapan.
Selepas sahur ia membicarakan dengan Handi. Apa yang pantas diberikan pada Mang Ujang sebagai ucapan terima kasih.
"Kupikir sebaiknya kamu memberi Mang Ujang peci saja," saran Handi.
"Kenapa harus peci?"
"Kamu perhatikan saja Mang Ujang. Sejak dua bulan lalu ia bekerja di masjid komplek kita, belum pernah kulihat ia mengganti pecinya. Rasanya janggal kalau melihat Mang Ujang di masjid. Pakaiannya selalu rapi, tapi pecinya itu sudah kelihatan lusuh."
Danu mengingat-ingat sebentar. Benar juga apa yang dikatakan sahabatnya itu. "Baiklah, aku akan memberikan peci. Kebetulan Ayah punya beberapa peci baru yang belum dipakai. Nanti sore antar aku menemui Mang Ujang, ya, Han!" kata Danu kemudian.
Lima menit menjelang waktu salat ashar, Handi menjemput Danu. Mereka bersama menuju masjid yang ada di komplek perumahan tempat tinggal mereka. Mereka menemui Mang Ujang di ruang wudhu.
"Mang Ujang, ini ada tanda terima kasih dari saya atas kebaikan Mamang kemarin," kata Danu sambil menyerahkan bungkus rapi.
"Tanda terima kasih? Ah, dik Danu, tidak usah repot-repot. Kemarin kan Mamang tidak sengaja menemukan arloji dik Danu," tolak Mang Ujang halus.
"Ayolah, Mang, terima saja. Nanti kami tidak mau menegur Mamang lagi kalau tidak mau menerimanya," timpal Handi.
Mang Ujang akhirnya mengalah. Ia menerima bungkusan itu dan membukanya.
"Dipakai yah, Mang!" pinta Danu.
"Nanti saja. Oh iya, terima kasih buat kalian," kata Mang Ujang.
Danu dan Handi berharap di saat salat tarawih nanti Mang Ujang akan memakai peci barunya itu.
Apa yang terjadi kemudian?
Saat salat tarawih, Danu dan Handi sama-sama terkejut ketika melihat Mang Ujang tetap memakai peci lapuknya! Karuan Danu kecewa.
Setelah salat tarawih selesai, Danu dan Handi tidak segera pulang. Mereka menunggu Mang Ujang yang sedang merapikan karpet masjid. Setelah segalanya beres, mereka segera menghampiri Mang Ujang.
"Mang, kok peci dari Danu tidak dipakai? Memangnya kekecilan? Atau malah longgar?" tanya Handi kemudian.
"Peci itu pas. Cuma Mamang belum bisa memakainya saat ini."
"Memangnya kenapa? Peci itu kan diberi untuk dipakai," sergah Danu.
Mang Ujang tersenyum, "Mamang tahu, tapi ...."
Danu dan Handi semakin penasaran. Apalagi ketika Mang Ujang duduk bersandar di tembok masjid dan melepas pecinya. Mang Ujang tampak memandang pecinya penuh haru.
"Kalian ingin tahu sebabnya?" tanya Mang Ujang kemudian. "Mendekatlah, Mamang akan bercerita hanya untuk kalian berdua. Agar kalian tidak kecewa."
Danu dan Handi segera duduk mendekati Mang Ujang.
"Mungkin kalian belum tahu, Mamang baru saja keluar dari penjara sekitar setengah tahun lalu ...."
Danu dan Handi langsung terperangah.
"Mamang dipenjara karena terlibat kasus pencurian mobil. Mulanya Mamang tidak menyesal masuk penjara. Tapi kemudian istri Mamang sakit keras dan Mamang tidak bisa merawatnya karena di penjara. Istri Mamang kemudian meninggal. Mamang jadi sedih. Saat itulah ada seorang teman Mamang di penjara yang meminta Mamang untuk tabah. Dia pula yang mengajari Mamang untuk kembali ke jalan yang benar ...."
"Di mana dia sekarang?" tanya Handi penasaran.
"Dia masih di penjara karena hukumannya lebih lama dari Mamang. Nah, saat Mamang keluar penjara, dia memberikan Mamang hadiah peci yang biasa dipakainya. Katanya pakailah peci ini, agar Mamang selalu ingat untuk tidak berbuat jahat lagi."
"Iya, tapi sampai kapan Mamang harus memakainya?" selang Danu.
"Sampai teman Mamang itu bebas. Itu janji Mamang. Rencananya menjelang lebaran ini ia akan dibebaskan ..." Mang Ujang menjawabnya sambil tersenyum.
Danu dan Hadi berpandangan sebentar.
"Baiklah, Mang Ujang. Kami sekarang bisa mengerti mengapa Mamang belum mau memakai peci dari kami. Mudah-mudahan saat lebaran nanti Mang Ujang mau memakainya," ujar Danu sambil berdiri. Ia dan Handi kemudian berpamitan.
"Aku jadi tidak enak pada Mang Ujang karena sudah memaksanya memakai peci yang kuberikan. Gara-gara aku dia terpaksa menceritakan masa lalunya. Padahal mungkin Mang Ujang ingin merahasiakannya," kata Danu di perjalanan pulang.
"Aku juga, Dan," timpal Handi. Dalam hati Handi berusaha mengambil hikmah atas peristiwa ini.
Hai! Terima kasih telah membaca kliping cerita ini. Kalau kamu suka membaca kliping sejarah juga, silakan berkunjung ke http://klipingsejarahku.blogspot.com/.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kumpulan Cerpen dan Dongeng Bobo 2001
Storie breviD A F T A R I S I Bobo Nomor 8 Tahun XXIX 24 Mei 2001 - Cerpen "Jangan Bukan Amplop Ini" oleh Ellen Kristi - Dongeng "Lelaki Penunggang Beruang" oleh Ayu S. Aulina - Cerpen "Pengalaman Baru Pino" oleh Ny. Widya Suwarna Bobo Nomor 9 Tahun XXIX 31 M...