Wulan dan Sayuran

134 6 0
                                    

Oleh Wahyu Noor S

Bobo Nomor 49 Tahun XXVIII 8 Maret 2001


"Makan apa, Dik?" sapa Wulan saat melintas di depan rumah Bu Dian. Ia mengelus pipi Arti. Anak kecil itu sedang disuapi Mbak Yah, pengasuhnya.

"Sudah pulang, Wul?" balas Mbak Yah. "Pakai mi goreng nih," lanjutnya. Sementara Arti menoleh sekilas sambil terus mengunyah. Ia makan sambil asyik bermain boneka.

Wulan mengangguk. Lalu, "Tiap hari kok makan mi?"

"Habis susah membeli sayuran. Padahal sayuran penting untuk kesehatan," kata Mbak Yah.

"Susah?"

"Semua orang memiliki kebun sayuran sendiri. Jadi warung hanya kadang-kadang saja menyediakan sayuran. Kalau pas di warung ada sayuran, ya ... kita menyayur. Kalau tidak, ya ... bikin mi goreng atau mi rebus, tempe goreng atau tempe rebus, telur goreng atau telur rebus, kerupuk goreng atau ...."

"Kerupuk rebus!" putus Wulan tertawa. Mbak Yah turut tertawa.

"Kenapa pada tertawa?" ujar Bu Dian tiba-tiba, muncul dari arah sekolah. Ia guru Wulan di SD 2 Karangsari.

Wulan dan Mbak Yah menoleh. Mereka menjawab dengan senyuman. Selebihnya Wulan permisi pergi. Berlalu dari rumah dinas Bu Dian.

Wulan tinggal di kebun bersama kedua orang tuanya. Rumah panggung sederhana, berada di tengah kebun kopi mereka yang luas. Di anjungan rumah, sudah terhidang nasi hangat berkepul, gulai terong, sambal tomat dan bermacam sayuran yang matang juga mentah untuk lalapan. Harum hidangan tercium oleh Wulan yang mulai meniti anak tangga. Huppp ... setengah melompat sampailah Wulan di atas. Sesaat ia menghilang ke dalam bilik untuk berganti pakaian rumah. Kemudian makan bersama Ibu dan Bapak. Lezatnya ...!

Minggu pagi. Wulan membantu Ibu dan Bapak membersihkan rumput yang tumbuh di antara pohon-pohon kopi. Sembari bekerja Wulan bersenandung riang. Meningkahi siulan burung-burung yang melompat dari dahan ke dahan.

Sesaat kemudian, Wulan memasukkan parang ke dalam sarungnya yang melekat di pinggang. Ia menemukan rimbunan pohon singkong. Pohon itu agaknya tak sengaja ditanam. Tumbuh dari batangnya yang menggeletak panjang. "Lezat sekali pupus daun singkong ini dibikin gulai," gumam Wulan memetik daun singkong muda penuh semangat.

Akhirnya ia sama sekali lupa membersihkan rumput. Memetik sayuran lebih mengasyikkan bagi Wulan. Selesai satu tempat, ia menemukan lagi rimbunan daun singkong di tempat lain lagi dan ... lain lagi. Pemandangan seperti itu berserakan di sana-sini. Wulan terus saja memetik. Hingga ... tak terasa daun singkong telah memenuhi pelukannya.

"Buat apa memetik sayuran sebanyak itu?" tegur Ibu menghentikan sesaat kesibukannya menyabit rumput.

"Kita kelebihan sayuran sementara orang lain kekurangan sayuran. Boleh kan aku membaginya, Bu?"

"Boleh-boleh saja. Tapi daerah ini kan daerah perkebunan. Mana ada yang kekurangan sayuran?" ujar Ibu.

"Bu Dian kan pendatang. Ia tak punya kebun, Bu," jelas Wulan.

Keesokan paginya, Wulan memasukkan daun singkong muda itu ke dalam kantong plastik. Dan dibawanya ke sekolah.

"Mbak Yaaah!" serunya di muka pintu rumah Bu Dian.

"Ooo .... Wulan, ya?" Mbak Yah muncul menggendong Arti.

Wulan mengelus pipi Arti sambil berkata, "Nih, Mbak Yah, aku bawakan sayuran." Diulurkannya sekantong plastik berisi daun singkong pada Mbak Yah.

" Diulurkannya sekantong plastik berisi daun singkong pada Mbak Yah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Mata Mbak Yah berbinar. "Ibu pasti senang. Terima kasih banyak, ya, Wul!"

Siang harinya, sebubar sekolah, Mbak Yah sudah menunggu di teras rumah. "Wul!" panggilnya cepat.

Wulan yang pulang bersama teman-temannya segera memisahkan diri.

"Daun singkong tadi banyak sekali, lo. Jadinya dibagi dua dengan Bu Riri," ujar Mbak Yah begitu Wulan sampai di hadapannya. "Nah, sekarang Bu Dian dan Bu Riri pesan sayuran lagi. Ini uangnya," lanjutnya menyodorkan tiga lembar uang ribuan.

Mata Wulan membundar. "Aku tak bermaksud minta imbalan. Daun singkong tadi kuberikan dengan ikhlas," protesnya cepat.

"He, jangan tersinggung dulu," tukas Mbak Yah. "Ini uang bukan untuk membayar daun singkong itu, melainkan untuk pesanan besok."

"Gampang!" putus Wulan sembari pergi. Ia mengedipkan sebelah mata pada Mbak Yah.

Keesokan paginya, Wulan muncul di muka pintu rumah dinas Bu Dian dengan sekantong plastik bayam. Mbak Yah menerima sembari mengucapkan terima kasih.

"Besok aku bawakan lagi," ujar Wulan.

"Tak usah, Wul," tukas Mbak Yah.

"Loh, katanya setiap hari?"

"Memangnya enak dikasih terus menerus? Kecuali kalau kamu mau menerima uang ini," dan Mbak Yah menyodorkan tiga lembar uang ribuan.

Wulan terpaku di tempat. Benar juga kata Mbak Yah, renungnya.

"Nih," desak Mbak Yah menggenggamkan uang itu ke telapak tangan Wulan. Wulan terhenyak. Tapi apa boleh buat, ia tak bisa menolaknya lagi.

Begitulah akhirnya, setiap pagi Wulan membawa sayuran untuk Bu Dian dan Bu Riri. Dan pada hari ketujuh bertambah pesanan dari Bu Ros. Lumayanlah, tabungan Wulan menjadi bertambah. Akhirnya ia dikenal di sekolah sebagai pedagang sayuran.

Pedagang sayuran? Hmmm, julukan itu sama sekali tak membuatnya malu apalagi rendah diri. Malah ia bangga karena bisa membantu kesulitan guru-gurunya. Sehingga mereka lebih kerasan lagi mengabdi di desa Karangsari.

*****


Hai! Terima kasih telah membaca kliping cerita ini. Kalaukamu tertarik membaca kliping sejarah juga, silakan berkunjung ke http://klipingsejarahku.blogspot.com/.

Kumpulan Cerpen dan Dongeng Bobo 2001Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang