Oleh Emmusa Qadarsyah
Bobo Nomor 17 Tahun XXIX 26 Juli 2001
Wajah ceria Aril berubah masam begitu melihat kedatangan sepupunya yang bermulut besar itu.
"Hei, kenapa tampangmu menyebalkan begitu?" tegur Raka.
Aril melengos, pura-pura memperhatikan jam tua yang melekat di dinding depan kamarnya. "Uh! Kenapa dia diundang juga?" keluhnya dalam hati. Aril menduga liburannya di rumah Tante Mira kali ini akan menjadi neraka baginya.
Saat makan malam, Aril memilih diam. Tidak seperti kemarin, ia banyak bercerita. Itu karena ia menyadari mata Raka terus mengawasinya. Dia pasti sedang mencari alasan untuk mengolok-olokku lagi, tukas Aril membatin.
"O ya, Tante juga mengundang Diana. Dia berjanji akan datang besok," ucap Tante Mira memecah keheningan malam itu.
"Wow, ini baru kabar bagus!" seru Aril riang. "Aku sudah tak sabar untuk berjumpa dengannya lagi."
"Ya ... kamu kan butuh teman malam ini, penakut!" celetuk Raka.
"Aku sudah biasa tidur sendiri, kok!" bantah Aril.
"Tapi, aku ragu kamu bisa terlelap nanti."
Aril mencibir mengingat tebakan Raka tadi. Buktinya, ia nyenyak sekali kemarin. Tapi ... sekarang kan malam Jumat! Pikirannya cemas, jadi sulit memejamkan mata. Hingga terdengar dentangan dua belas kali, lalu .... "Balonku ada lima, rupa-rupa warnanya, hijau kuning kelabu, merah muda dan biru ...."
Deg! Aril membelalak kaget. Jantungnya serasa berhenti berdetak. Oh, suara apa tuh? Batinnya ngeri. Mengapa menyanyi selarut ini? Anak kecilkah, atau ... h-hantu?!"
Keesokannya, Aril terbangun oleh suara tawa Raka. Rupanya, sepupunya itu mengintipnya dari jendela. "Aku melihatmu sembunyi di balik selimut. Apa yang kau takuti? Apakah ada hantu yang mengunjungimu, ha?" teriaknya meledek.
"T—tidak. Aku ... cuma kedinginan, kok," kilah Aril pelan.
"Apa? Aduh, dia berkeringat dingin!"
Ternyata hanya Aril yang mendengar senandung bocah misterius itu semalam. Tante Mira mengaku tidak mengetahui apa-apa, beliau tertidur pulas. Lalu, bagaimana dengan Raka?
"Ah, kamu pasti bermimpi!" tukas Raka tak percaya. "Aku tak mendengar apa pun. Padahal kamar kita kan bersebelahan?"
Dahi Aril mengkerut. Bukankah nyanyian itu sangat nyaring? Batinnya heran.
"Hohoho ... itu sebabnya kamu gemetaran tadi pagi, kan? Apa kamu kira itu ulah hantu?" nada suara Raka mulai mengejek. "Kamu pasti ketakutan setengah mati semalaman. Menurutmu, hantu itu akan menelanmu bulat-bulat?"
Aril meringis. Kini ia menyesal telah bicara dengan si sombong itu. Harusnya ia tahu, Raka cuma akan mengoloknya!
"O ya, ada berita buruk buatmu. Diana tak jadi datang hari ini. Sepertinya, kamu terpaksa sendirian lagi. Hati-hati, lo!" lanjut Raka. "Apa perlu kutemani?"
Gawat! Desah Aril. Ia tak yakin mampu menghadapi hantu itu bila benar-benar muncul nanti malam. Tapi ... berdekatan dengan Raka juga bukan ide yang baik.
Pilihan bodoh! Jerit Aril dalam hati. Malam itu, Aril bersama Raka jauh lebih tersiksa. Bayangkan, Raka suka membaca cerita seram dengan keras sebelum tidur! Aril jadi semakin ketakutan dibuatnya. "S-sudah, dong! Kamu mau nantang hantu, ya?" tegurnya.
Raka malah cekikikan. Ia senang melihat Aril pucat pasi.
Tetapi itu tak lama, karena ... bocah yang tak kasatmata itu mulai bersenandung lagi! Dan ... dengan lagu berbeda!!
Aril buru-buru menyembunyikan diri di balik selimut. Sedang Raka ... ia mematung, tercengang hingga tubuhnya kaku, dan ... ngompol!
Hari sudah sore ketika Diana datang keesokannya. Ia tergelak menerima laporan dari kedua sepupunya itu. Apalagi mengetahui Raka jadi penakut, sampai terkencing-kencing!
"Sudah!" pinta Raka dengan wajah semerah tomat. "Sekarang, bagaimana dengan hantu kecil itu, Diana?"
"Kamu kok tenang-tenang saja, sih?" sambung Aril heran, melihat Diana cuma tersenyum.
"Sini ... kalian ikuti aku!" ajak Diana menuju kamar Aril. Kemudian ia menunjuk jam tua yang terawat bersih itu. "Nah, itu milik almarhum Om Nanang, suami Tante Mira," ucapnya.
Aril dan Raka saling berpandangan, bingung. Apakah Diana bermaksud memberi tahu sarang hantu itu? D-dan di jam itukah? "Jadi ... hantu Om Nanang?!" desah Aril.
"Hei, jangan tergesa-gesa mengambil kesimpulan! Maksudku, Om Nanang sangat menyukainya. Beliau selalu memperbaiki dan memperbarui peralatan di dalamnya. Terakhir, Om Nanang sempat memasang weker yang bagus. Tapi sayang, belakangan ini sering rewel, rusak!"
"Diana, jangan berbelit-belit!" potong Aril tak sabar.
"Singkatnya, jam ini bisa bernyanyi sendiri. Om Nanang menambahkan rekaman suara nyanyian anak-anak, lagunya bermacam-macam," lanjut Diana. "Jadi, inilah yang kalian takuti selama ini!"
Aril menatap jam tua itu. Ia masih sangsi. "Bohong, ah! Lalu, kenapa cuma berbunyi di malam hari? Itu pun tidak teratur."
"Kan sudah kubilang, dia suka rewel!" tandas Diana.
Akhirnya Aril bisa bernapas lega, karena tak ada hantu! Hanya saja ... Aril masih suka kaget bila tiba-tiba jam itu kembali bernyanyi. Habis, senandung anak-anak kecil itu tak pernah utuh!***
Hai! Kalau kamu suka membaca kliping sejarah juga, silakanberkunjung ke http://klipingsejarahku.blogspot.com/.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kumpulan Cerpen dan Dongeng Bobo 2001
Historia CortaD A F T A R I S I Bobo Nomor 8 Tahun XXIX 24 Mei 2001 - Cerpen "Jangan Bukan Amplop Ini" oleh Ellen Kristi - Dongeng "Lelaki Penunggang Beruang" oleh Ayu S. Aulina - Cerpen "Pengalaman Baru Pino" oleh Ny. Widya Suwarna Bobo Nomor 9 Tahun XXIX 31 M...