Satu Hari untuk Mama

139 6 0
                                    

Oleh Ipal

Bobo Nomor 31 Tahun XXIX 1 November 2001


Pagi itu Mama sendiri yang menyiapkan sarapan. Hmmm, sesungguhnya masakan Mama sangat enak. Namun sayang, beliau jarang memasak untuk kami.

"Bik Nur hari ini menunggui keponakannya yang habis melahirkan," ujar Mama. Aku dan Ari, adikku diam saja sambil melahap nasi goreng Mama yang lezat. Sementara Vini asyik bermain-main dengan roti tawarnya yang berbentuk boneka. Ari kelas dua, sedangkan Vini duduk di TK.

"Damar, mau tidak membantu Mama?" tanya Mama. Aku menatap Mama yang sudah rapi, siap berangkat ke kantor.

"Tolong, untuk hari ini kamu yang menjaga adik-adikmu. Sehari ini saja," lanjut Mama dengan suara sedikit sedih. Aku tahu Mama mengkhawatirkan kami. Biasanya ada Bik Nur yang mengurusi kami sehari-hari. Semenjak Papa meninggal setahun lalu, Mama memutuskan untuk bekerja kembali.

"Ya, Ma, Damar janji," jawabku kemudian. Mama menghela napas berat. Wajah Mama masih resah. Kemudian Mama mengantar kami ke sekolah. Aku dan Ari satu sekolah. Sedangkan TK Vini tidak begitu jauh dari sekolah kami. Dalam perjalanan, Mama berkali-kali menasihati, tidak boleh begini, tidak boleh begitu. Sampai aku bosan mendengarnya.

Pulang sekolah aku ke rumah Jimi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Pulang sekolah aku ke rumah Jimi. Aku mau meminjam buku Lima Sekawan miliknya. Jimi sangat gemar membaca. Buku-buku bacaannya sangat banyak. Namun Jimi sangat hati-hati bila ada yang ingin meminjam bukunya. Tidak sembarangan orang yang dapat meminjam. Aku termasuk orang yang beruntung. Aku dapat menjaga buku dengan baik.

"Damar, kita main play station dulu, yuk? Aku baru dibelikan game baru oleh Paman Minto," ajak Jimi bersemangat. Aku langsung setuju. Kemudian kami bermain mobil balap berdua. Saking asyiknya aku jadi lupa waktu. Tiba-tiba perutku berbunyi minta diisi.

"Jim, aku mau pulang dulu, ya," kataku kemudian. Mendadak aku ingat Ari dan Vini. Jantungku berdebar kencang. Darahku berdesir cepat. Aku menggigil ketakutan. Aku melupakan mereka.

"Nanti sajalah pulangnya, Mar," kata Jimi menahan.

"Aku lapar. Makan dulu," tolakku. Aku juga menolak tawaran Jimi makan di rumahnya. Aku harus menemui Ari dan Vini secepatnya. Dengan berlari-lari aku pulang ke rumah. Tak aku pedulikan panas terik yang membakar kulitku. Sepanjang jalan aku berdoa, semoga Ari dan Vini sudah ada di rumah, menungguku.

Tetapi di rumah tidak ada siapa-siapa. Sepi. Aku tersengat begitu ingat kunci rumah ada di dalam tasku. Aku mulai panik. Aku merasa bersalah kepada kedua adikku. Aku juga merasa berdosa kepada Mama. Aku melalaikan janjiku.

Aku kembali ke sekolah. Tidak ada seorang pun di sana. Aduh, bukankah Ari belajar setengah hari. Tadi dia aku suruh untuk menjemput Vini di sekolahnya. Mungkin mereka sedang bermain-main di sana. Namun di sekolah Vini juga sepi. Ke mana mereka? Aku mengusap keringat yang meleleh tak henti-henti. Rasa laparku hilang entah ke mana. Yang ada dalam hatiku adalah segera menemukan Ari dan Vini.

Jantungku berdebar kencang karena gelisah. Tubuhku menggigil, mungkin karena lapar bercampur perasaan bersalah. Aku mencari ke lapangan dekat rumah. Tidak ada. Aku cari ke pasar. Aku periksa gerombolan anak-anak yang menonton tukang obat. Tidak ada. Aku dekati penjual lotere, Ari dan Vini tidak kutemukan.

Aku hampir putus asa. Apa yang harus aku katakan bila sampai Mama pulang nanti Ari dan Vini tidak kutemukan? Mama pasti akan melapor ke polisi. Mungkin Ari dan Vini telah diculik? Tuhan, tolong lindungi kedua adikku. Aku berdoa dalam hati tak henti-henti. Diam-diam aku mulai menangis.

Ketika akan melintasi jalan raya, aku melihat dua anak kecil bermain-main air. Ada saluran air yang bocor. Aku mendekati mereka. Aku hampir tidak percaya pada pandanganku. Mereka adalah Ari dan Vini.

"Ariii! Viniii!" aku berteriak gembira

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Ariii! Viniii!" aku berteriak gembira. Aku memeluk mereka bergantian. Pakaian mereka kuyup dan kotor. Tapi aku tidak akan marah.

"Maafkan Kak Damar, ya! Kakak ketakutan sekali tidak menemukan kalian," ucapku tulus. Aku buru-buru menghapus air mata.

"Kak Damar kok menangis?" tanya Vini polos.

"Kakak takut kalian mendapat bahaya," jawabku sambil tersenyum. Kemudian kami pulang, setelah mengambil tas Ari dan Wini yang dititipkan penjual rokok dekat situ.

"Tadi Ari kan menjemput Vini di sekolahnya. Terus menunggu Kakak di sekolah. Namun setelah bubaran kok Kakak tidak datang-datang juga. Terus Ari mengajak Vini pulang. Rumah masih terkunci. Kakak belum pulang. Ari dan Vini menunggu Kakak. Namun Kakak tidak pulang-pulang. Terus Ari ajak Vini main," jelas Ari kemudian.

"Ya, Kakak yang salah, main dulu ke rumah Jimi. Maafkan Kakak, ya?" ulangku lagi. Ari dan Vini mengangguk serempak. Akupun tertawa lega. Sesampai di rumah Ari dan Vini kusuruh mandi. Aku memasak mi rebus istimewa untuk kami semua. Ada potongan sosis, kornet, dan wortel. Hmmm, lezatnya!

Malamnya, aku menunggu Mama yang agak terlambat pulang. Ari dan Vini sudah tidur. Aku pun sudah merapikan rumah. Menyapu, menyiram tanaman, membersihkan pajangan, juga merapikan kamar Mama. Begitu Mama pulang, aku menceritakan peristiwa siang tadi.

"Damar minta maaf, Ma. Telah melalaikan pesan Mama," kataku. Mama tersenyum sambil mengusap kepalaku.

"Mama juga berterima kasih, Damar telah memberikan satu hari yang baik untuk Mama. Sehingga tidak terjadi apa-apa saat Mama pergi."

Kemudian aku dan Mama bergantian mencium pipi Ari dan Vini yang sedang pulas. ***


Hai! Terima kasih telah membaca kliping cerita ini. Kalau kamu suka membaca kliping sejarah juga, silakan berkunjung ke http://klipingsejarahku.blogspot.com/.

Kumpulan Cerpen dan Dongeng Bobo 2001Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang