D A F T A R I S I
Bobo Nomor 8 Tahun XXIX 24 Mei 2001
- Cerpen "Jangan Bukan Amplop Ini" oleh Ellen Kristi
- Dongeng "Lelaki Penunggang Beruang" oleh Ayu S. Aulina
- Cerpen "Pengalaman Baru Pino" oleh Ny. Widya Suwarna
Bobo Nomor 9 Tahun XXIX 31 M...
Gofar paling suka main di sawah. Setiap hari Minggu, ia bersama Arif, Joko, Bagus, dan Kanthong mencari belut di sawah yang baru saja dipanen. Di antara gumpalan lumpur genangan air itu mereka mencari liang belut. Penuh semangat, mereka menggali lumpur dengan tangan. Mereka biasanya berlomba.
"Lihat. Aku dapat!" teriak Gofar sambil menunjukkan belut sebesar ibu jari. Teriakan itu membuat anak-anak lain berhamburan kepada Gofar.
"Minggu lalu kamu yang menang. Sekarang kamu juga ..." ujar Arif.
"Belut ini milik kita bersama. Nanti kita goreng. Kebetulan ibuku sudah menanak nasi di rumah. Lezatnya, makan belut dengan nasi hangat," ujar Gofar.
"Jangan lupa sambalnya!" ujar Joko.
Mereka kembali mencari belut. Joko berteriak, menunjukkan belutnya.
"Ah, kecil. Itu belut apa cacing?" goda Gofar sambil tertawa.
"Yang penting dapat!" ujar Joko, memasukkan belut itu ke tas plastik.
Beberapa menit kemudian, Bagus berteriak kegirangan. Belut sebesar jempol kaki orang dewasa menggeliat di tangannya.
"Besar mana belutmu dengan belutku," teriak Kanthong sambil menunjukkan belut tangkapannya.
"Ya jelas besar belutku!" ujar Bagus.
"Sudahlah. Tak usah bertengkar. Yang penting nanti kita makan bersama," Arif melerai. Mereka kembali mencari belut. Hanya Bardi yang belum dapat. Wajahnya cemas dan malu.
Matahari sudah condong ke barat. Anak-anak, yang berlepotan lumpur itu menghitung jumlah belut yang didapat. "Aku setor sepuluh!" ujar Gofar.
"Aku, tujuh," ujar Kanthong yang disusul Arif dengan empat belut, Joko lima belut, dan Bagus dengan delapan belut.
"Kita makan besar. Kita punya 34 ekor," ujar Gofar.
"Belut ini kita masak dan nikmati bersama," ujar Arif.
"Wah ... ya tidak bisa. Mosok aku dapat delapan, haknya sama dengan Bardi yang tidak dapat apa-apa. Ini jelas tidak adil," sanggah Bagus sambil memungut belut-belutnya. "Aku ingin menikmati sendiri belut-belut ini di rumah," tandasnya.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Jangan begitu, Gus. Masak kamu tega makan belut paling banyak, sendirian," ucap Arif. "Bardi juga berhak menikmati, dong. Dia, kan, yang memberi tahu kita bahwa tempat ini banyak belutnya."
"Tapi , buktinya, dia tidak dapat apa-apa. Hanya yang dapat yang berhak makan," potong Bagus sambil melirik Bardi. Bardi salah tingkah. Tersinggung.
"Baiklah. Aku kan dapat sepuluh. Lima kuberikan pada Bardi," ujar Gofar.
"Wah ... tidak bisa. Pokoknya, yang tidak dapat belut ya tidak makan."
Bardi yang sejak tadi diam akhirnya bicara, "Aku tidak ingin jadi sumber pertengkaran. Silakan kalian makan bersama. Aku tidak ikut."
"Jangan begitu, Bar. Sebelum berangkat kita kompak. Sesudah mendapatkan hasil ya harus kompak juga," ujar Kanthong.
"Tapi, gara-gara aku, jadi tidak kompak," ujar Bardi.
"Jangan sampai gara-gara belut ini persahabatan kita pecah," ujar Arif.
"Maaf kawan-kawan. Aku terpaksa tidak ikut pesta," ujar Bagus sambil meninggalkan kawan-kawannya. Semua anak saling memandang. Bingung.
Di rumah Gofar, setelah sholat Magrib berjamaah, Kanthong, Bardi, Joko, Arif, dan Gofar duduk melingkar di atas tikar. Di tengahnya, tersaji nasi, belut, dan sambel serta lalapan. Belut-belut itu ada yang digoreng. Ada pula yang disambel dengan bawang. Semua makan dengan lahap, kecuali Bardi.
"Kenapa kamu tak makan? Ayolah. Nanti keburu dingin," ujar Gofar.
Bardi hanya mematung. Piring itu dibiarkan kosong.
"Kamu ada persoalan apa dengan Bagus?" tanya Joko sambil mengambil belut.
"Aku juga tidak tahu. Tapi, mungkin Bagus marah karena kemarin ...."
"Kemarin apa, Bar?" desak Kanthong sambil meraih gelas dan meminumnya.
"Kemarin dia pinjam PR matematika-ku. Tapi tidak kuberi. Soalnya dia sudah terlalu sering begitu. Aku bermaksud memberi pelajaran padanya. Biar dia mau belajar," ujar Bardi sambil mengambil nasi, belut goreng, dan sambel.
Sejak peristiwa mencari belut, Bagus menjadi pendiam. Ia lebih banyak sendiri di sekolah. Ia merasa canggung untuk bergaul bersama Joko, Gofar, Kanthong, Ari, dan Bardi. Kelompok Enam Sekawan (KES) itu, kurang cerita tanpa Bagus yang pintar melucu.
Sore itu, KES mendatangi Bagus di rumahnya. Bagus kaget. Ia tak menyangka kawan-kawannya itu masih menaruh perhatian kepadanya.
"Gus, mestinya kamu tidak perlu kecewa karena Bardi menolak meminjamkan PR matermatika. Maksud Bardi baik. Agar kamu ..." ujar Gofar.
"Aku sudah bercerita persoalan kita," potong Bardi, tiba-tiba.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Bagus tampak malu. Wajahnya tertunduk. "Aku menyesal marah pada kamu, Bar! Kamu ternyata baik. Maafkan aku ..." ujarnya terbata-bata.
"Sudah. Mari kita perbaiki kesalahan kita," ujar Bardi sambil menjabat tangan Bagus. Melihat adegan itu, Joko, Gofar, Arif, dan Kanthong terharu.
"Baiklah. Sejak sekarang kita bentuk kelompok belajar. Kita bisa saling berbagi kemampuan. Lewat KES kita bisa saling belajar. Oke?" tutur Gofar.
"Yes!" teriak mereka. Mereka saling bersalaman, saling berangkulan. Mata Bagus dan Bardi tampak berkaca-kaca.
"Bagaimana kalau Minggu besok kita cari belut? Kebetulan sawah bapakku baru saja dipanen ..." ujar Gofar memecah keheningan.