Giliran Belajar di Rumah Euis

128 9 0
                                    

Oleh Ny. Widya Suwarna

Bobo Edisi Detektif Edisi Khusus III/2001


Siang itu amat terik. Euis mengambil kunci dari tas sekolahnya. Lalu membuka pintu kamar kontrakan. Kamar, bukan rumah! Orang tua Euis hanya sanggup menyewa satu kamar berukuran 3x3 m untuk tempat tinggal mereka.

Di dalam tampak sebuah kasur berlapis seperai batik. Lalu ada sebuah keranjang untuk tempat pakaian, sebuah kompor minyak tanah, sebuah panci, sebuah kuali dan sodetnya, beberapa piring, sendok, gelas, dan sebuah ember. Itulah perabotan keluarga Euis. Oh ya, ada tempat nasi dan sebuah rantang susun, karena Emak telah menyediakan makanan untuk Euis.

Euis masuk dan meletakkan tasnya di lantai. Duduk di tepi kasur, dan membuka rantang susun. Ada sayur asam, tahu, tempe, ikan jambal asin dan sambel.

Hati Euis tiba-tiba kembali gundah. Terngiang percakapannya tadi dengan kawan-kawan kelompok belajarnya: Rina, Yeti, dan Dona.

"Sudah tiga kali kita belajar bersama. Sabtu besok giliran di rumah kamu, ya, Euis. Yang lain sudah dapat giliran!" kata Rina.

"Maaf, rumahku amat sempit. Kalau bisa, di tempat lain saja!" Euis tak bisa membayangkan kalau mereka sampai datang ke rumahnya yang sangat sempit.

"Tidak apa-apa. Rumahku juga kecil kok!" kata Dona.

"Sudahlah, pokoknya nanti hari Sabtu kita belajar di rumah Euis. Masak sih kita tak boleh ke rumahmu?" Rina, sang ketua kelompok memutuskan.

"Euis merendah saja. Pasti rumahnya bagus. Lihat saja, seragamnya bagus. Sepatunya bermerek dan tas sekolahnya mahal!" kata Yeti.

"Kalian salah. Emakku cuma pembantu rumah tangga. Uang yang kupakai ini adalah hadiah dari majikan Emak. Anak Pak Budiman, Siska, sebaya denganku. Jadi kalau Siska dibelikan sesuatu, aku suka diberi juga!" Euis menjelaskan. Tapi penjelasannya tidak mengubah tekad kawan-kawannya.

Sekarang, Euis termenung sendiri di kamar kontrakan. Emak belum pulang. Emak jadi pembantu di rumah keluarga Budiman, rumah besar tak jauh dari deretan kamar kontakan. Bapak juga bekerja di sana jadi satpam. Jadi kalau malam Bapak tidur di pos jaga rumah bos, Emak serta Euis tidur di kamar kontrakan mereka.

Sore hari Emak pulang. Euis langsung menceritakan masalahnya.

"Biar nanti Emak kosongkan kamar ini dan gelar tikar. Barang-barang kita titipkan di rumah Pak Min!" kata Emak. Pak Min adalah pemilik kamar kontrakan.

"Terima kasih, Mak. Untung Emak banyak akal. Kita suguhkan kue dan minuman, ya, Mak. Di rumah yang lain juga begitu!" kata Euis.

"Sekolahmu kan tidak begitu jauh. Lebih baik kalian datang langsung dari sekolah saja. Nanti Emak sediakan makan siang!" kata Emak.

"Aaah, Emak, biayanya kan besar. Lagi pula piring dan gelas kita mana cukup!" kata Euis.

"Uang Emak cukup kok. Masalah piring soal mudah. Emak bisa pinjam sama tetangga. Kita di sini kan sudah biasa tolong-menolong!" kata Emak.

Akhirnya tiba juga hari Sabtu. Berkali-kali Euis menjelaskan bahwa mereka akan belajar lesehan di lantai dan makan makanan sederhana. Juga kalau mau pipis harus ke WC umum. Namun ketiga temannya tetap saja bersemangat datang.

Setiba di kamar kontrakan, ternyata ada Emak.

"Mari masuk, anak-anak. Terima kasih mau datang ke kamar kontrakan kami yang sempit!" sambut Emak.

Euis terbelalak ketika melihat ruangan sudah kosong dan bersih. Di atas tikar sudah tersedia nasi, sayur lodeh, ikan goreng, tahu dan tempe bacem, bihun goreng, sambal, kerupuk dan buah jeruk. Juga es buah. Piring dan gelasnya juga bagus-bagus. Bahkan tersedia air kobokan di mangkuk aluminium yang diberi jeruk limau dan serbet makan.

"Wah, lezat benar. Memangnya Euis ulang tahun, ya, Bu?" tanya Yeti.

"Oooh, tidak, cuma ini kok yang bisa Ibu sediakan! Ayo dicicipi," kata Emak riang. Anak-anak itu makan dengan lahap.

"Kamu benar-benar tinggal di sini?" Rina menegaskan. Euis mengangguk.

"Jadi sebenarnya kami merepotkan, ya? Barang-barang kamu kan harus disingkirkan dulu!" kata Yeti.

"Aduh, maafkan kami, ya!"

"Ah, tidak apa-apa. Kami senang kalian mau datang. Kalau sudah makan, kita pindah tempat, ya. Majikan Ibu, keluarga Budiman pergi ke Puncak. Ibu sudah minta izin dan kalian boleh belajar di sana. Lebih nyaman karena ada meja dan bangku!" kata Emak.

Setelah makan, mereka pergi ke rumah majikan Emak. Halamannya luas, rumahnya besar. Anak-anak duduk di ruangan yang mewah dengan meja dan bangku yang indah. Ada pot-pot porselen berisi tanaman hias di sudut-sudut ruangan. Sebuah piano dan akuarium ikan warna juga menghias ruangan.

 Sebuah piano dan akuarium ikan warna juga menghias ruangan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Majikan ibumu kaya dan apik sekali!" kata Rina.

"Iya, kami bersyukur sekali. Tuhan sangat baik. Walaupun tinggal di kamar sempit, tapi kami tak pernah kekurangan. Kadang-kadang aku juga belajar di sini. Kalau Siska kesulitan membuat PR Matematika, aku dipanggil untuk mengajarkannya!" kata Euis.

"Wah, dia jadi guru kecil nih!" goda Yeti. Anak-anak itu tertawa.

"Tapi, lain kali kita tidak bisa belajar di sini. Ini kebetulan saja, karena dapat izin khusus!" kata Euis.

"Kalian sudah tahu, tempat tinggalku sangat sempit. Jadi kalau kalian mau datang, Emak harus menitipkan barang-barang dulu!"

"Aku mengerti. Biar, rumah kami bertiga yang mendapat giliran!" kata Rina.

"Omong-omong, kalau dilihat dari penampilan, kamu pantas lo tinggal di rumah besar dan mewah ini!" kata Dona. "Kamu tampak rapi, bersih, dan sehat!"

"Emak bilang, walaupun tinggal di tempat kumuh, kita tidak harus tampil kumuh!" kata Euis.

"Sudah, sudah, ayo belajar. Ngobrol saja, kapan mulai belajarnya!" tegur Rina, sang ketua kelompok. Keempat anak itu mulai sibuk belajar. Euis merasa lega karena satu masalah sudah diselesaikan dengan baik. Sekarang pastilah Emak sedang sibuk mengangkut kasur dan barang-barang. Juga mengembalikan piring, sendok dan gelas pinjaman. Euis merasa makin sayang pada Emak. Emak memang hebat!

Kumpulan Cerpen dan Dongeng Bobo 2001Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang