Oleh Ny Widya Suwarna
Bobo Nomor 25/XXIX/01
Di sebuah hutan, tinggallah sekelompok penyihir. Mereka tinggal di pondok-pondok yang suram, kotor, dan gelap di atas rawa-rawa. Mereka sibuk memasak ramuan berbau busuk, melayani pesanan sihir dan menyembuhkan hewan-hewan yang sakit.
Di antara para penyihir, ada penyihir bernama Meiti. Ia sering dicemooh penyihir lain karena terkenal sebagai penyihir tu la lit. Otaknya tu la lit. Maksudnya, ia tak pandai meracik ramuan obat atau ramuan sihir. Kadang terlalu pekat, terlalu cair, atau lupa memasukkan beberapa macam bahan. Ia pun tak sanggup menghafal mantra-mantra sihir, misalnya mengubah batu menjadi roti. Sihir sederhana saja sulit ia lakukan, apalagi sihir yang sulit-sulit.
"Sudahlah, kamu tak pantas jadi penyihir. Pergi saja ke kota, dan jadilah pencuci pakaian atau penjual kacang rebus!" olok kawan-kawannya.
Meiti sangat sedih.
"Apa tidak ada sihir yang bisa membuatku pintar?" tanya Meiti pada seorang ahli sihir.
"Tidak ada. Kalau ada, kami semua sudah kaya raya!" kata ahli sihir itu.
Akhirnya suatu hari Meiti memutuskan untuk pergi ke kota. Ia tak tahan lagi tinggal di hutan. Tak ada hewan yang mau berobat padanya. Ia pun tak pernah mendapat pesanan sihir. Siapa yang tahan menganggur terus sepanjang hari?
Meiti memakai jubah dan topi hitamnya, lalu membawa sapu terbangnya.
Di kota ia melihat rumah-rumah yang bersih dan indah. Ia menawarkan diri dari rumah ke rumah untuk menjadi pencuci pakaian. Namun tak seorang pun sudi menerimanya.
"Maaf, kami sudah punya pencuci pakaian!"
"Kami mencuci pakaian dengan mesin cuci!"
Begitulah alasan orang-orang kota itu. Akhirnya, Meiti mulai berjualan kacang rebus. Tetapi, dari pagi sampai petang tak satu orang pun membeli kacang rebusnya.
"Jangan beli kacang rebus pada penyihir. Nanti kamu disihir jadi katak atau patung!" kata orang tua pada anak-anaknya.
"Hiii, aku tak berani membelinya. Penjualnya saja menyeramkan!" kata beberapa remaja.
Sesudah beberapa hari berjualan tanpa hasil, Meiti mulai putus asa. Apakah di dunia ini tak ada pekerjaan yang cocok untuknya?
Akhirnya Meiti kembali ke hutan. Ia merenung di pondoknya yang suram dan gelap dan penuh sarang laba-laba, kecoak, dan tikus. Ketika merenung, Meiti teringat rumah-rumah di kota. Bersih berdinding putih, berlantai keramik, berjendela lebar dan terang. Alangkah nyamannya berada di rumah seperti itu, pikirnya.
"Sudahlah, walaupun tak ada pekerjaan, lebih baik aku menata tempat tinggalku sendiri supaya nyaman!" pikir Meiti.
Maka dengan sapunya Meiti mulai membersihkan rumah, lalu membuat jendela. Suatu pagi ketika ia bangun dan membuka jendela, ia merasakan hembusan angin pagi yang sangat segar. Sinar matahari memasuki pondoknya sehingga pondoknya menjadi terang. Burung-burung berkicau, daun-daun bergoyang dan bunga-bunga warna-warni merekah menyambut pagi.
Hati Meiti sangat senang.
"Uuuh, baru sekarang kurasakan nikmatnya hidup!" pikir Meiti. Semangat baru timbul dalam hatinya. Ia melihat wajahnya di kaca. Ow! Baru kali ini ia sadar bahwa ia tampak kotor, kumal, dan menyeramkan. Apalagi dengan baju hitam, topi hitam, rambut panjang kusut, dan wajah murung.
Meiti segera ke pasar membeli baju kerja warna putih yang biasa dipakai para montir. Juga sebuah gerobak kecil lengkap dengan pengki. Ia membeli benang biru dan jarum. Dan juga sabun, sisir, handuk, serta sepatu olahraga.
Kemudian Meiti menyulam tulisan di punggung bajunya: Meiti – Cleaning Service. Artinya, Meiti yang menerima pesanan jasa kebersihan. Kemudian Meiti mandi di sungai. Disabuninya tubuh dan rambutnya bersih-bersih.
Sesudah berdandan, Meiti menjadi wanita yang rapi dengan rambut disanggul. Ia pun memakai baju kerjanya yang berwarna putih. Meiti memandang dirinya di kaca dan ia puas dengan penampilannya.
Segera ia pergi ke kota, mendorong gerobak, dan membawa sapunya. Ia pun menyapu jalanan kotor. Ada perasaan senang ketika ia bekerja. Meiti membersihkan selokan-selokan, membuang sampah para pedagang, dan mengosongkan tong sampah di depan toko-toko. Dalam waktu singkat Meiti dikenal banyak orang. Mereka memberikan uang, makanan, dan minuman pada Meiti.
Setiap sore Meiti pulang ke pondoknya di hutan. Para penyihir masih menyebutnya penyihir tu la lit. Mereka merasa kasihan melihat Meiti jadi tukang sampah. Tapi Meiti tidak peduli. Ia bahagia karena mempunyai pekerjaan yang disenanginya dan berguna bagi orang banyak. Setiap pagi ia tampil rapi, bersih, dan wangi. Ia merasa sehat, bahagia, dan punya banyak teman. Wajah Meti selalu berseri ketika menjalankan tugasnya, menyapu sampah. *****
KAMU SEDANG MEMBACA
Kumpulan Cerpen dan Dongeng Bobo 2001
Short StoryD A F T A R I S I Bobo Nomor 8 Tahun XXIX 24 Mei 2001 - Cerpen "Jangan Bukan Amplop Ini" oleh Ellen Kristi - Dongeng "Lelaki Penunggang Beruang" oleh Ayu S. Aulina - Cerpen "Pengalaman Baru Pino" oleh Ny. Widya Suwarna Bobo Nomor 9 Tahun XXIX 31 M...