Aku Beda, Boleh Kan

495 22 3
                                    

Oleh Siti Masitah

Bobo Nomor 11 Tahun XXIX 14 Juni 2001

Kabar burung itu sangat menyakitkan. Masak aku dibilang anak angkat! Padahal aku tahu pasti aku adalah anak kandung Ayah dan Ibu. Putera ketiga dari pasangan Tuan dan Nyonya Ir. Handoko Wijaya, orang tuaku. Aku sudah melihat surat lahirku.

"Sudahlah, jangan dipikirkan," bujuk Amy teman dekatku. Bagaimana tidak jadi pikiran. Masalah ini sudah tersebar baik di sekolah, maupun di lingkungan rumah. Kedua orang tuaku cuma berkata,

"Biarkan saja, Wisnu. Kalau capek, mereka berhenti sendiri."

Tapi, kedua kakak kembarku, Mbak Sandra dan Mbak Sandri, malah meledek, "Memang betulan sih," usik mereka kompak. Sebel!!!

Sebenarnya, aku sendiri heran, siapa sih yang usil menebar berita itu? Aku kan tidak punya musuh. Tapi, mungkin berita itu terjadi karena aku memang sangat beda dengan orang tua dan kakak-kakakku. Mereka semua berkulit putih dan berambut lurus. Sedangkan aku berkulit hitam legam dan rambutku keriting kecil-kecil.

"Ibu waktu hamil mengidam apa sih?" tanyaku penasaran.

"Makan mie kecaaap!" seru kakak kembarku terkikik.

Ibu membelai keritingku, "Mungkin kamu menuruni perawakan kakekmu. Adik Ibu juga ada yang mirip kamu," lanjut Ibu tersenyum lembut.

 Adik Ibu juga ada yang mirip kamu," lanjut Ibu tersenyum lembut

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Kakek sudah meninggal saat Wisnu lahir," gumamku sedih. "Tapi kalau Paman, apakah dia masih hidup?" tanyaku cepat.

"Pamanmu itu bernama Wahyu. Dia seorang wartawan perang. Tugasnya meliput medan pertempuran. Sudah lima tahun pamanmu tidak pulang. Kabarnya pun tak tentu. Terakhir dia ada di sekitar Timur Tengah," Ayah menjelaskan. Sementara Ibu nampak sedih.

Aku berpikir diam-diam. Usiaku baru empat tahun waktu Paman Wahyu pergi. Jadi sulit bagiku membayangkan wajah Paman Wahyu. Menurut Ayah, Paman Wahyu sangat sayang padaku. Dia juga yang mengusulkan nama saat aku lahir. Wisnu Wahyudi Utomo, nama lengkapku.

Waktu pun berjalan. Sekarang aku berusia hampir 11 tahun. Kabar burung tentang aku anak angkat, mulai tak terdengar lagi. Sementara itu, prestasiku di sekolah mulai meningkat. Aku juga mulai menekuni dunia tulis menulis. Aku mencoba menulis beberapa karangan. Ternyata susah juga. Sesudah sekian kali ditolak, barulah karyaku dimuat di beberapa media cetak.

Suatu kali aku membuat cerpen tentang kerinduanku kepada Paman Wahyu, yang sekian tahun menghilang. Kisah itu aku ambil dari cerita-cerita di keluarga kami. Baru aku tahu, lengan kiri Paman Wahyu ternyata tidak dapat berfungsi karena kena pecahan granat, saat ia meliput sebuah perang. Tapi beliau tetap percaya diri. Bahkan mendapat penghargaan karena prestasinya yang gemilang sebagai seorang wartawan.

Karangan itu dimuat. Tak lama berselang karyaku mendapat hadiah sebagai "Karangan Anak Terbaik" versi majalah tersebut. Tapi sungguh, sebenarnya aku hanya ingin Paman bisa membaca kerinduanku, di mana pun ia berada. Betapa senangnya bisa mengharumkan nama pemberiannya. Wisnu Wahyudi Utomo ... seorang pengarang cilik.

Lalu peristiwa itu terjadi ....

Hari itu aku pulang agak malam. Seharian berkutat di rental komputer, menyelesaikan cerpen terbaruku. Aku sedikit gugup karena merasa diikuti. Ketika langkahku bergegas, sosok itu ikut tergesa. Aku sampai di rumah dengan selamat. Ayah segera keluar saat aku mengadu sambil menggigil ketakutan.

"Ibu, anak-anak, cepat kemari," panggil Ayah gembira

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Ibu, anak-anak, cepat kemari," panggil Ayah gembira. Kami keluar dengan takut-takut. Ayah sedang merangkul seorang pemuda berusia 30-an. Ibu tertegun, lalu menubruk laki-laki itu sambil tersedu. Kami yang melihat hanya terpaku. Aku perhatikan sosok asing itu. Seperti pernah kulihat. Ya, setiap kali aku bercermin. Rambut keriting, kulit hitam legam. Wajahnya yang lembut dengan pandangan teduh. Dia mirip sekali dengan Ibu, terlebih lagi, denganku!

"Pamaaan!" aku menghambur. Ya, Paman Wahyu. Dia melepaskan rangkulan Ibu dan menyambutku dalam pelukannya.

"Wisnu-ku, Wisnu-ku," air mata Paman mengalir tertahan.

Kami berpelukan erat. Aku sangat bahagia. Seakan telah menemukan bagian diriku yang hilang. Ayah segera mengajak kami masuk ke rumah.

Setelah membersihkan badan dan makan, kami sekeluarga duduk di ruang keluarga. Tentu saja aku di samping pamanku.

"Kalian ini seperti pinang dibelah dua," kata Ayah tak percaya. "Benar-benar mirip. Bedanya hanya usia."

"Bukan hanya usia," Paman tersenyum dikulum. "Kalau saya di medan perang selalu di depan dengan gagah berani. Eh, si Wisnu ini baru diikuti saja sudah lari." Seisi rumah tertawa berderai. Aku hanya bisa tersipu malu.

Sejak saat itu kami seperti sulit dipisahkan. Ada rasa keterkaitan yang hanya kami rasakan berdua. Paman sendiri juga heran, aku mewarisi bakat jurnalistiknya.

Sayang, kebersamaan kami hanya berjalan setengah tahun. Paman pergi lagi untuk menjalankan tugas. Aku sangat sedih saat berpisah. Paman menggenggam tanganku erat-erat.

"Wisnu," kata Paman dengan suara berat

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Wisnu," kata Paman dengan suara berat. "Jadilah orang yang berkepribadian kuat. Jangan takut jika kamu berbeda dengan yang lain. Baik fisik maupun sikapmu. Selama perbedaan itu tidak menyalahi aturan, kami harus menjadi Wisnu Wahyudi Utomo. Bukan jadi duplikatnya Wahyu Dewabrata, pamanmu."

Itulah kata-kata bijak Paman yang terakhir. Sebulan kemudian datang berita, Paman tewas terkena peluru nyasar. Aku sedih.

***

Kumpulan Cerpen dan Dongeng Bobo 2001Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang