Oleh Yulia
Bobo Nomor 50 Tahun XXVIII 15 Maret 2001
Sudah seminggu ini Upik tidak keluar rumah. Ia malu, sebab ada bisul di hidungnya.
"Untung masih liburan, jadi teman-teman tidak ada yang tahu ..." gumamnya sambil memperhatikan bisulnya di cermin. "Huh, gara-gara bisul ini liburanku jadi kacau!" teriaknya sambil menunjuk-nunjuk hidungnya.
Melihat kelakuan anak semata wayangnya, ibu Upik cuma tersenyum.
"Ayo, kita harus segera siap-siap. Mana tasmu?" tanya Ibu, lalu merapikan bingkisan-bingkisan di dalam kopernya. "Nanti di rumah Nenek jangan nakal, ya!" tambahnya. Upik mengangguk dengan muka cemberut.
Hari itu Upik dan ibunya memang akan ke rumah Nenek. Rencana itu sudah dibuat sebulan lalu. Mereka akan naik kereta api. Upik senang sekali. Ia sudah membuat rencana-rencana yang menyenangkan. Akan memakai baju apa, akan mengunjungi tempat apa saja, dan sebagainya. Sayang, seminggu sebelum rencana itu terlaksana, bisul itu sudah lebih dulu muncul.
Selama perjalanan ke stasiun, Upik selalu menutup ujung hidungnya dengan saputangan. Bila ada orang yang melihat ke arahnya, Upik langsung mendelik kesal, "Keterlaluan!"
Suasana stasiun ternyata ramai sekali. Upik semakin sibuk menutupi hidungnya. "Kamu tunggu di sini, ya! Ibu mau pesan tiket. Jangan ke mana-mana!" pesan ibunya.
Kurang lebih satu jam Upik menunggu. Ia mulai bosan. Tiba-tiba ada seseorang yang menegurnya dari belakang.
"Sepatunya mau disemir, Non!"
Upik menengok. Aih! Ternyata seorang anak laki-laki sebaya Upik. Ia menenteng kotak kecil dan kakinya ..., kakinya hanya sebelah. Upik merasa iba dan hanya terbengong-bengong.
"Mau?" ulang anak itu sekali lagi.
"Oh, ya ya ..." Upik tergagap. Disodorkannya sepatunya.
Anak itu duduk di sebelah Upik. Sebelah tangannya mengapit tongkat yang ia gunakan untuk berjalan. Kemudian ia mulai mengelap sepatu Upik. Lama keduanya terdiam.
"Namaku Budi," katanya tiba-tiba. "Kakiku begini karena kecelakaan," lanjutnya tanpa disuruh. Mungkin ia melihat keheranan di mata Upik yang masih saja terbengong-bengong. "Waktu aku disuruh ayah membeli rokok, aku melihat layang-layang putus. Aku langsung mengejarnya bersama anak-anak lain. Waktu itu kami tidak memperhatikan lalu lintas. Akhirnya aku tersenggol mobil dan jatuh terduduk. Malangnya, ada truk di belakang mobil itu. Sopirnya tidak melihat aku yang terjatuh. Akhirnya ... beginilah kakiku jadinya," celotehnya panjang lebar sambil menyemir. "Sekarang aku menyemir sepatu untuk membantu kedua orang tuaku. Kasihan mereka. Padahal aku adalah harapan mereka satu-satunya," tambahnya.
"Oh, begitu. Kamu tidak malu bekerja dengan keadaan seperti ini?" tanya Upik akhirnya.
"Mengapa mesti malu? Aku kan tidak mencuri. Aku akan kerja apa saja, asal halal. Aku tidak mau dikasihani orang," jawab Budi tegas.
"Nih, sepatumu sudah mengkilat," lanjutnya sambil tersenyum pada Upik. Ia lalu membereskan peralatannya.
"Terima kasih. Berapa?" Upik langsung memakai sepatunya kembali.
"Dua ratus rupiah!"
Setelah dibayar, Budi berlalu. "Selamat jalan," teriaknya.
Upik tak menjawab. Seribu perasaan bergelayut di hatinya. Ia sadar, bisul di hidungnya bukanlah apa-apa dibanding kecelakaan yang menimpa Budi. Ia ingin punya rasa percaya diri yang kuat seperti Budi. Upik tersenyum. Lalu secepat kilat memasukkan ke kantong jaketnya saputangan yang sedari tadi menutupi hidungnya. Nah! Kini ia bebas bergerak.
Tak lama kemudian Ibu datang membawa dua tiket kereta. "Ayo kita naik! Keretanya sudah datang!" katanya. Ibu tidak berkomentar apa-apa melihat perubahan pada putrinya. Ia hanya tersenyum seperti biasa.
"Bu, nanti Upik yang duduk di pinggir jendela, ya!"
"Beres!"
****
KAMU SEDANG MEMBACA
Kumpulan Cerpen dan Dongeng Bobo 2001
Short StoryD A F T A R I S I Bobo Nomor 8 Tahun XXIX 24 Mei 2001 - Cerpen "Jangan Bukan Amplop Ini" oleh Ellen Kristi - Dongeng "Lelaki Penunggang Beruang" oleh Ayu S. Aulina - Cerpen "Pengalaman Baru Pino" oleh Ny. Widya Suwarna Bobo Nomor 9 Tahun XXIX 31 M...