Oleh Wahyu Noor S
Bobo Nomor 25/XXIX/01
"Siapa yang punya buah leunca? Tolong bawakan untuk Ibu, ya!" kata Bu Panca mengelus perutnya. Ini sudah yang ketiga kali Bu Panca menyampaikan pesan itu.
Leunca?
Sekali lagi anak-anak kelas IV terdiam. Buah seperti itu baru mereka dengar dari mulut Bu Panca yang orang Sunda.
"Bentuknya bulat kecil berwarna hijau, sebesar ujung jari kelingking. Bila sudah tua berwarna kehitam-hitaman. Tapi yang Ibu perlukan tentu yang muda, untuk lalap."
Anak-anak nampak berpikir. Membayang-bayangkan seperti apa buah leunca itu. Kasihan Bu Panca, ia sedang hamil 4 bulan. Konon ia mengidam buah leunca tersebut. Bu Panca berasal dari Bandung. Ia menetap di Yogyakarta karena menikah dengan orang Yogya. Orang Yogya tak begitu mengenal lalap. Sedang Bu Panca orang Sunda, amat gemar lalap.
Pulang sekolah, Rini melihat adiknya sedang bermain pasar-pasaran bersama temannya. Langkah Rini terhenti persis di hadapan adiknya berdagang. Ada seuntai buah ... ah, entah apa namanya. Bentuknya bulat kecil-kecil berwarna hijau. Mungkinkah ini yang bernama leunca? Pikir Rini berjongkok. Ia raih tumbuhan itu dan diamatinya.
"Ada apa, Mbak?" tanya Kanti, adiknya.
"Kamu tahu ini buah apa namanya?" ujar Rini balas bertanya.
"Jeruk-jerukan," jawab Kanti sederhana. Rini tersenyum, menyadari buah itu memang hanya buah mainan.
Rini sudah berdiri untuk masuk ke dalam rumah ketika tiba-tiba berjongkok dan memungut buah itu lagi. "Mbak Rini minta seuntai ya!" katanya. Kanti mengangguk.
Siang itu pula, Rini ke rumah Bu Panca. Diperlihatkannya seuntai jeruk-jerukan pada Bu Panca. Sekilas Bu Panca mengamati tumbuhan itu. Lalu digenggamnya erat sembari terlonjak, "Ya ini yang namanya leunca, Rin!"
Rini tersenyum lebar. Merasa gembira sekaligus geli melihat tingkah Bu Panca. Bu Guru yang cantik itu mendadak seperti anak kecil yang mendapatkan kembali mainannya yang hilang. Ah, Rini bergegas pulang untuk menemui Kanti.
Di bawah serambi, tempat Kanti dan temannya bermain tadi, kini sudah bersih. 'Dagangan' tak ada lagi. Kanti dan temannya pergi pula entah ke mana. Sesaat Rini terpaku sebelum akhirnya menuju kebun yang menghampar luas di belakang rumah.
Rini menyusuri kebun. Ia menajamkan pandangan. Sudut demi sudut tak lepas dari perhatiannya. "Di mana kira-kira pohon leunca itu?" gumamnya tak henti celingak-celinguk. Dan di bawah belukar bambu .... Tralala, pohon leunca itu didapatkannya!
Tiga pohon leunca berderet. Sepintas lalu seperti pohon cabe. Buahnya beruntaian di pucuk-pucuk ranting. Rini memetik hati-hati. Tak lupa beberapa buah yang sudah tua untuk disemai Bu Panca, agar ia memiliki pohon sendiri. Tak beberapa lama kedua saku baju Rini penuh sudah. Saat itulah datang Kanti dengan kantong plastik di tangan.
"Lo, jeruk-jerukannya kok dipetik semua? Ini kan pohon jeruk-jerukanku, Mbak?" tegurnya langsung. "Mbak Rini dagang yang lain saja. Sini, jeruk-jerukan itu kembalikan padaku," lanjutnya beruntun.
Rini tersenyum, "Ini bukan untuk pasaran. Tapi untuk lalap Bu Panca."
Sesaat Kanti mengernyitkan kening. Dan tanpa memahami omongan kakaknya ia berkata,
"Cepat kembalikan, Mbak. Teman-teman mau membeli jeruk-jerukan itu." Kanti membuka kantong plastik yang dibawanya.
"Membeli dengan uang daun jambu, kan?" tukas Rini tersenyum. "Kanti, bagi orang Sunda, jeruk-jerukan ini namanya leunca. Enak dimakan," lanjut Rini serius.
"Enak?" tukas Kanti seolah tak percaya. Rini mengangguk pasti.
"Nah, daripada kamu buang percuma, lebih baik kita berikan pada Bu Panca. Ia mengidam leunca tapi belum juga mendapatkannya."
Kanti terdiam sejenak sebelum akhirnya menganggukkan kepala. Dengan suka cita Rini memindahkan buah leunca ke dalam kantong plastik yang dibawa adiknya. Lalu pergi ke rumah Bu Panca bersama-sama.
Ternyata Bu Panca telah menunggu. Duduk di kursi teras dengan harap-harap cemas. Tatapannya lurus ke muka. Begitu Rini dan Kanti muncul, bergegas ia bangkit berdiri. Diterimanya sekantong plastik leunca dengan mata berbinar-binar.
"Terima kasih, anak-anak," ujarnya dengan nada dalam. "Nah, aku telah siap dengan nasi hangat dan sambal tomat. Lalu disantap dengan leunca ini ... hm, enaknya," lanjutnya sembari sekilas memejamkan mata seolah ingin segera menikmati hidangan istimewa itu.
Karena Kanti dan Rini tak mau diajak makan sekalian, maka Bu Panca membiarkan mereka pulang. Tapi bukan pulang dengan tangan hampa, lo. Di tangan Rini dan Kanti ada buah jeruk, masing-masing dua biji. Jeruk-jerukan telah diganti Bu Panca dengan jeruk betulan.
"Aku pasti sangat menyesal kalau tadi ingin tetap menjual jeruk-jerukan itu pada teman-teman," cetus Kanti di perjalanan.
"Karena tidak akan mendapat jeruk ini?" goda Rini mengangkat kedua jeruk di tangan.
"Idih," jebik Kanti. "Ya karena Bu Panca ternyata sangat membutuhkannya."
"Ooo begitu," ujar Rini tertawa. Lantas makan jeruk bersama-sama. ****
KAMU SEDANG MEMBACA
Kumpulan Cerpen dan Dongeng Bobo 2001
Cerita PendekD A F T A R I S I Bobo Nomor 8 Tahun XXIX 24 Mei 2001 - Cerpen "Jangan Bukan Amplop Ini" oleh Ellen Kristi - Dongeng "Lelaki Penunggang Beruang" oleh Ayu S. Aulina - Cerpen "Pengalaman Baru Pino" oleh Ny. Widya Suwarna Bobo Nomor 9 Tahun XXIX 31 M...