Batu Kedua

240 16 0
                                    

Oleh Emmusa Qadarsyah

Bobo Nomor 15/XXIX/01

Sandy bimbang. Ia ingin memenuhi ajakan yang sangat menggiurkan itu. Bermain bola! Tapi ... kalau setelah pulang sekolah ...?

"Ayo, teman-teman sudah menunggu!" ajak Mario lagi.

"T-tapi ...."

"Ah, jangan kelamaan mikir! Ayo!" desak Mario sambil menarik tangan Sandy.

Mereka bermain sampai sore. Hingga seragam putih merah Sandy penuh lumpur dan kusut. Mario berjalan cepat di depannya. Sementara Sandy sengaja memperlambat langkahnya. Ia takut. Papa pasti akan memarahinya lagi.

"Hei, ayo!" teriak Mario menyadarkan temannya yang berada jauh di belakangnya.

"Mario, aku tidak pulang saja," cetus Sandy.

"Apa?" Mario terkejut. "Jangan bodoh kamu!"

"A-aku takut ...."

Mama Sandy menyambut kedatangan mereka. Papa Sandy belum datang. "Mario, lebih baik kamu lekas pulang. Ibumu pasti khawatir," kata Mama Sandy.

"Iya, Tante," sahut Mario. "Tapi Sandy jangan dimarahi, ya. Tadi aku yang memaksanya ikut."

"Baiklah," janji Mama Sandy sambil tersenyum.

"Baiklah," janji Mama Sandy sambil tersenyum

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sandy lega mendengarnya. Setelah mandi dan mengganti pakaian, Sandy menghampiri Mama yang sedang menemani adiknya belajar. "Ma, maafkan Sandy, ya," katanya pelan.

"Jangan, Ma! Kak Sandy tak pernah kapok, bandel. Bilang sama Papa saja, biar dihukum!" celetuk Tina.

Huh! Sandy menatap sebal adiknya. Dasar bawel! "Ma ..." mohonnya. Dengan penuh kasih sayang Mama memeluk Sandy. "Jangan diulangi, ya!" pintanya.

Sandy mengangguk.

Keesokan harinya, Sandy menolak keras ajakan Mario dan Dodi. Kali ini ia sudah bertekad tidak akan mengecewakan Mama lagi.

"Ayolah, hari ini ada pertandingan," bujuk Mario.

"Iya, kami sangat membutuhkan kamu," tambah Dodi.

Sandy tetap menggeleng mantap.

Tapi Dodi tidak mau menerimanya. "Awas! Kalau kamu tetap tak mau ikut. Kami akan mencegatmu pulang sekolah nanti!" ancamnya kemudian.

Bel masuk berbunyi. Sandy bisa bernapas lega untuk sementara.

Bu Erna, guru Bahasa Indonesia, bercerita lagi. Legenda Malin Kundang dituturkannya dengan menarik. Kisah seorang anak durhaka yang akhirnya dikutuk menjadi batu. Hati Sandy tersentuh mendengarnya sehingga ia menitikkan air mata. Sandy merasa tidak berbeda dengan Malin Kundang. Ia sudah berulang kali mengingkari janji dan menyakiti hati Mama. Kini Sandy sangat menyesal.

Siang itu, Dodi dan teman-temannya benar-benar menghadangnya di pintu gerbang sekolah. "Kamu jadi ikut, kan?" tanya Dodi. "Harus!"

Sandy meringis

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sandy meringis. Ia ngeri juga, tapi .... "Maaf, aku tidak bisa ikut."

"Sandy?" Mario terkejut mendengarnya.

"Bodoh! Dasar penakut!" bentak Dodi memaki.

"Aku harus pulang," cetus Sandy sambil melangkah. Tetapi, teman-temannya itu menghalangi jalannya. Mereka terlihat marah.

"Kenapa kamu tidak mau ikut?" tanya Mario heran, karena ia tahu Sandy sangat menyukai permainan sepak bola.

"Aku tak ingin bernasib seperti Malin Kundang. Aku tak mau jadi batu kedua," jawab Sandy.

Mereka tertawa geli mendengar alasan itu. "Hei ... itu cuma cerita bohongan! Jangan dipercaya!" kata Dodi."Itu cuma dongeng anak kecil!"

"Terserah kalian. Tapi aku percaya pada larangan guru kita agar tidak mampir dulu sepulang sekolah," balas Sandy.

"Ah! Omong kosong!" teriak Dodi marah.

Gawat! Batin Sandy ciut. Ia merasa mereka akan memukulinya habis-habisan.

"Baiklah, aku akan mengantar Sandy pulang," cetus Mario tiba-tiba. Bagaimanapun, ia tidak mau sahabatnya itu jadi korban amarah Dodi dan teman-temannya. "Maaf, aku juga tidak ikut."

Sandy tercengang.

"Mario!" seru Dodi marah. "Kamu jangan membela penakut ini!"

"Yuk, Sandy!" ajak Mario menggandeng Sandy. Mereka menerobos Dodi dan teman-temannya yang tidak bisa mencegah, karena takut pada Mario yang juara karate.

Mama Sandy senang sekali menyambut mereka. Bahkan beliau sudah menyiapkan kue-kue yang lezat.

"Terima kasih Tante, tapi aku harus cepat pulang," tolak Mario.

"Lo, kamu tidak ingin mencicipinya dulu?" tanya Mama Sandy heran.

"Maaf, tapi aku juga tak mau jadi batu kedua," cetus Mario sambil tersenyum.

"Apa?" Mama tak mengerti.

Sandy dan Mario tertawa. Tetapi Mama tetap membungkuskan kue-kue itu untuk dibawa pulang Mario. *****

Kumpulan Cerpen dan Dongeng Bobo 2001Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang