D A F T A R I S I
Bobo Nomor 8 Tahun XXIX 24 Mei 2001
- Cerpen "Jangan Bukan Amplop Ini" oleh Ellen Kristi
- Dongeng "Lelaki Penunggang Beruang" oleh Ayu S. Aulina
- Cerpen "Pengalaman Baru Pino" oleh Ny. Widya Suwarna
Bobo Nomor 9 Tahun XXIX 31 M...
Hati Marko begitu gembira ketika Papa mengajaknya ke tempat kerjanya. Dalam perjalanan menuju ke sana, ia sudah membayangkan bahwa ia akan memperoleh pengalaman baru yang mendebarkan, yang menurut Marko adalah pengalaman yang hebat. Pengalaman yang tidak akan diperoleh oleh anak lain seusianya. Bayangkan, tempat kerja papa Marko adalah kamar mayat! Papa Marko, dr. Solaiman, adalah seorang ahli forensik. Pekerjaannya membedah mayat untuk mengetahui penyebab kematian seseorang.
Hari Minggu begini memang terkadang dr. Solaiman dipanggil ke Rumah Sakit untuk memeriksa mayat, yang oleh pihak kepolisian, kematiannya dianggap tidak wajar. Nah, mungkin karena dr. Solaiman merasa perlu mengajak teman, maka diajaknya Marko. Tetapi begitu sampai di Paviliun Kamboja, nama kamar mayat tersebut, Marko kecewa. Sebab dr. Solaiman tidak memperbolehkannya masuk. Oleh dr. Solaiman, Marko disuruh menunggu di teras Paviliun Kamboja.
Dengan menahan kesal Marko duduk di bangku yang ada di teras itu. Angin sejuk berhembus. Marko menguap. Begitu selesai menguap, tiba-tiba di sebelah kanannya sudah duduk seorang anak laki-laki sebayanya.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Kamu siapa? tanya Marko sambil menatap anak laki-laki itu.
Maman, jawab anak itu sambil tersenyum.
Kamu?
Nama saya Marko.
Kamu lagi kesal nampaknya.
Papa saya tadi mengajak saya ke sini. Saya kira saya diperbolehkan masuk. Tak tahunya saya hanya disuruh menunggu di luar!
Memang kamu tidak takut sama mayat?
Ah, masak anak ahli forensik takut sama mayat. Kamu sendiri, mengapa kamu ke sini?
Saya kebetulan lewat. Saya adalah seorang pemulung. Kebetulan saya mengalami peristiwa yang menyakitkan. Maman mendongakkan kepalanya. Lihat leherku!
Marko mendekatinya. Ia memperhatikan leher Maman. Tampak garis merah melingkari leher Maman.
Leherku dijerat sama Bang Ucok.
Kejam benar Bang Ucok. Siapa Bang Ucok itu?
Maman lantas bercerita tentang dirinya. Maman adalah anak seorang janda. Ayahnya meninggal waktu ia berumur empat tahun. Kemudian sejak ayahnya meninggal, mereka jadi pemulung. Suatu saat Maman bertemu Bang Ucok. Bang Ucok adalah seorang tukang copet. Oleh Bang Ucok, Maman dimanfaatkan. Maman dipaksa mencopet. Hasilnya harus diserahkan seluruhnya kepada Bang Ucok. Baru kemudian Maman diberi bagian. Bagian Maman jauh dari apa yang disebut memadai.
Karena tidak mau mencopet lagi dan tidak tahan hidup di bawah tekanan Bang Ucok, Maman lantas kabur. Sial baginya, suatu hari Bang Ucok menemukannya. Maman berlari menghindarinya. Namun Bang Ucok tidak tinggal diam. Maman dikejarnya. Maman terus berlari. Sampai akhirnya dia tiba di sebuah bangunan tua. Di bangunan tua itulah leher Maman dijerat Bang Ucok. Karena dijerat, napas Maman jadi berhenti. Bang Ucok terkejut dan menjadi panik. Tanpa pikir panjang lagi, Maman diseretnya ke sebuah empang tak jauh dari bangunan tua itu.
Bulu kuduk Marko meremang mendengar cerita Maman. Ia tak bisa membayangkan bagaimana penderitaan yang dialami Maman.
Eh, tapi tunggu! Kamu bilang lehermu dijerat, lalu kamu ditenggelamkan di empang. Lantas bagaimana cara kamu bisa selamat?
Ditanya demikian, Maman tak segera menjawab. Ia malah tersenyum. Kemudian ia berdiri.
Mau ke mana kamu, Man?
Maman tidak menjawab. Kemudian ia pergi meninggalkan Marko. Baru Marko akan memanggilnya, tahu-tahu Maman sudah tidak ada.
Ke mana Maman tadi? Marko tak habis mengerti. Bukankah barusan saja ia berjalan. Tapi kenapa tiba-tiba saja sudah tidak kelihatan? Eh, tapi tunggu dulu. Di rumah, sebelum berangkat tadi, samar-samar Marko mendengar pembicaraan papanya dengan petugas Rumah Sakit lewat telepon. Dari pembicaraan itu, Marko bisa tahu bahwa papanya harus segera memeriksa jenazah seorang anak yang mati tenggelam di empang. Tetapi, oleh polisi dicurigai ada motif pembunuhan. Mengingat hal itu, bulu kuduk Marko meremang dan tiba-tiba jantungnya berdebar-debar. Jangan-jangan .... Oh, tak mungkin. Tak mungkin! Jantung Marko tambah berdebar. Tubuhnya gemetar. Keringatnya banyak keluar. Tiba-tiba ia merasa tak kuat menahan rasa takutnya. Ia segera membuka pintu paviliun yang kebetulan tidak dikunci. Didapatinya papa dan asistennya, Pak Mantri Yudi, tengah memeriksa mayat seorang anak. Marko tambah gemetar melihat wajah mayat yang diperiksa mereka. Mirip Maman!
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Pa, itu Maman, ya? Maman yang dijerat lehernya lalu ditenggelamkan ke empang?
Dokter Solaiman dan Pak Yudi tampak terkejut mendengar pertanyaan Marko.
Bagaimana anak Dokter tahu mengenai mayat ini? Sedangkan kita baru saja membuat kesimpulan-kesimpulan tentang penyebab kematiannya? ujar Pak Yudi.
Tiba-tiba Marko tak tahan menopang tubuhnya sendiri. Ia menjadi lunglai. Dokter Solaiman dan Pak Yudi segera merangkulnya ....