D A F T A R I S I
Bobo Nomor 8 Tahun XXIX 24 Mei 2001
- Cerpen "Jangan Bukan Amplop Ini" oleh Ellen Kristi
- Dongeng "Lelaki Penunggang Beruang" oleh Ayu S. Aulina
- Cerpen "Pengalaman Baru Pino" oleh Ny. Widya Suwarna
Bobo Nomor 9 Tahun XXIX 31 M...
Rencana itu sudah disusun rapi-rapi. Nanti malam mereka akan nonton pasar malam di Sriwedari. Mumpung malam minggu. Mereka sudah lama sekali memimpikan bisa melihat mobil senggol, badut, permainan sulap, tong setan, dan masih banyak tontonan menarik lainnya.
Rencana itu sebenarnya hampir gagal karena mereka tak punya uang untuk membeli tiket masuk. Untunglah Heri punya jalan rahasia. Artinya mereka bisa masuk pasar malam tanpa perlu melewati penjaga. Alias tak perlu membeli tiket masuk.
"Aku sudah mengadakan penyelidikan. Kita benar-benar bisa masuk tanpa membeli karcis. Bahkan kujamin tak ada seorang pun penjaga yang akan memergoki kita," Heri menegaskan.
"Kamu yakin, Her?"
"Jangan-jangan, ini hanya gurauanmu saja!"
Heri merangkul dua sahabatnya yang dipenuhi kebimbangan.
"Sebagai jaminan kalau aku berbohong, kepalaku boleh kau jitak sepuluh kali, bagaimana?" Heri memberi jaminan.
Mereka bertiga saling beradu pandang.
"Yesss!" secara serempak mereka mengepalkan tinju di udara sebagai tanda kesepakatan.
"Jadi, nanti malam kita cuma perlu uang receh untuk membeli lilin," sahut Edi senang.
"Nanti malam aku ingin melihat badut!"
"Aku juga."
"Kalau aku pilih nonton tong setan saja!"
Lantas mereka tertawa berbahagia.
Dengan sepeda, mereka pergi ke pasar malam. Heri naik sepeda sendiri, sedangkan Edi dan Koko berboncengan. Mereka ingin segera tiba di pasar malam Sriwedari. Mereka menggenjot sepedanya cepat-cepat.
Sampai di pasar malam, mereka menitipkan sepeda di dekat gedung film. Lautan manusia sudah berjejal-jejal di depan puluhan loket. Banyak penjaga bertebaran dengan pentungan karet di tangan.
Nyali Edi dan Koko menciut melihat tampang penjaga yang tidak ramah.
"Ayo ikuti aku, akan kutunjukkan rahasia itu," setengah berbisik Heri menempelkan bibirnya pada telinga sahabatnya.
Edi dan Koko sedikit merasa lega. Mereka buru-buru membuntuti Heri dari belakang. Mereka tak mau terjebak dan tersesat karena kerumunan manusia yang menyemut.
Lama-lama jalan yang dilalui Heri makin jarang dilalui orang. Keramaian orang dan berisik suara loud speaker hanya lamat-lamat terdengar. Edi dan Koko masih setia mengikuti sahabatnya dari belakang. Hati mereka gelisah karena Heri belum juga menunjukkan jalan rahasia. Di tempat yang gelap, Heri berhenti. Begitu pula Edi dan Koko.
"Mana jalan rahasia itu, Her?"
"Tenang, inilah jalan rahasia yang kumaksud. Kita tinggal melewati kandang gajah. Setelah sampai di ujung sana langsung belok kiri, kita sudah bisa bergabung dengan pengunjung yang lain," Heri menerangkan.
Tubuh Edi gemetar. Koko juga berkeringat dingin. Menyeberangi kandang gajah itu, sama saja ....
"Tidak perlu gugup. Dua gajah itu sedang tidur. Yang penting jangan membuat berisik. Kita bisa selamat sampai ke sana."
Edi dan Koko masih juga diliputi kebimbangan.
"Kalau masih ragu dan takut, biarlah aku yang akan memberi contoh," Heri meyakinkan lagi.
Lantas dengan mantap dan penuh percaya diri, Heri masuk ke kandang gajah. Dalam gelap itu, ia mengendap dengan tenang dan pasti. Tanpa terasa sudah berada di ujung sana. Padahal Edi dan Koko yang melihatnya berkali-kali menahan napas. Dua ekor gajah itu masih tertidur. Seperti dua batu raksasa.
"Bagaimana?" Edi meminta saran.
"Kita ikuti saja Heri. Namun aku takut kalau ke sana sendirian."
"Kalau begitu, kita berdua berjalan sekaligus," Koko memotong.
Dengan menahan napas mereka masuk ke kandang gajah. Mereka berjalan dengan hati-hati. Kaki mereka rasanya berat sekali. Tubuh mereka juga berkeringat dingin. Setiap jengkal yang dilewati, diikuti oleh hembusan napas yang berat. Jarak yang cuma 15 meter itu rasanya berkilo-kilo jauhnya.
Tinggal dua meter lagi mereka sampai.
Krosak. Kaki Edi tersandung kayu melintang. Tubuhnya yang gendut jatuh berdebum. Dua gajah itu bangkit. Mendekati suara berisik. Edi berteriak ngeri. Koko memanggil Heri untuk meminta bantuan.
Berdua mereka menarik tubuh Edi dengan susah payah. Dua ekor gajah itu mengayunkan belalainya. Siap menyerang.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Ayo sedikit lagi," susah payah mereka keluar dari kandang maut itu. Napas mereka saling berhamburan. Mereka tersengal-sengal.
Dari bibir pagar pengaman, dua gajah itu mencorong marah pada mereka karena telah berani mengusik tidur.
"Selamat," ujar Koko dengan bibir bergetar.
"Her, aku kapok lewat jalan rahasia ini. Lebih baik kita menabung untuk membeli karcis," kata Edi dengan napas hampir putus. ***
Hai! Terima kasih telah membaca kliping cerita ini. Kalaukamu suka membaca kliping sejarah juga, silakan berkunjung ke http://klipingsejarahku.blogspot.com/.