Oleh E. Wahyu Nugroho
Bobo Edisi Detektif Edisi Khusus III/2001
Siang hari itu langit terlihat mendung. Aku melangkah ringan sembari melihat pemandangan suasana pedesaan. Di kanan kiri jalan nampak sawah-sawah dengan padi yang mulai menguning. Sedangkan di kaki langit terlihat pegunungan biru yang diselimuti arak-arakan awan. Ini hari kedua aku berlibur di rumah Kakek dan Nenek. Kali ini aku terpaksa sendirian. Kak Ria, kakakku, tidak bisa ikut karena harus mengikuti les persiapan Ebtanas.
Namun, beberapa saat kemudian gerimis mulai turun. Aku segera berlari pulang menuju ke rumah Kakek. Namun di tengah jalan hujan turun dengan lebat. Aku terpaksa berteduh di bawah pohon besar, di depan sebuah rumah yang sangat bagus dan besar.
Aku melihat seorang nenek duduk di teras rumah tersebut. Ia memandang ke arahku dan tersenyum. Aku pun membalas tersenyum. Lalu ia melambaikan tangan memanggilku. Wah, kebetulan. Aku segera berlari menuju ke rumah itu.
Kok hujan-hujan? Kamu pasti bukan anak desa sini, ya? Siapa namamu? tanya nenek itu.
Iya, Nek. Saya cucu Kakek Atmo. Nama saya Rani, jawabku sambil menggigil kedinginan.
Oo ... cucu Pak Atmo! Beliau amat ramah. O ya, panggil saya Nenek Sali. Ayo, masuk saja. Kamu pasti kedinginan, kata Nenek Sali. Mbok Surti ... tolong buatkan teh hangat. Ada tamu!
Nenek Sali menggandengku masuk ke dalam rumah. Tidak berapa lama Mbok Surti keluar menghidangkan teh hangat dan makanan kecil. Mbok Surti juga membawakan handuk, untuk mengelap badanku.
Sambil menikmati teh hangat dan makanan kecil, kami pun berbincang-bincang. Ternyata Nenek Sali hidup sebatang kara. Ia hanya ditemani Mbok Surti, pembantu setianya. Suaminya telah meninggal lima tahun yang lalu. Ia tidak mempunyai anak maupun sanak saudara. Menurutnya, dulu ia pernah mengangkat anak yang diambil dari panti asuhan. Namun, beberapa tahun kemudian anak angkatnya meninggal dunia, karena sakit leukemia.
Kulihat Nenek Sali menitikkan air mata.
Nek Sali jangan sedih, ya! Anggap saja Rani cucu Nenek, kataku menghibur.
Nenek Sali tersenyum dan mengangguk. Ia segera memelukku erat-erat. Ia nampak terharu dan bahagia sekali.
Tidak terasa hujan telah berhenti. Aku pun berpamitan, karena khawatir Kakek dan Nenek kebingungan mencariku. Aku juga berjanji untuk datang lagi besok pagi.
Ketika tiba di depan warung di perempatan jalan, seorang bapak memanggilku. Aku pun menghampirinya.
Kamu pasti cucu Pak Atmo. Kamu harus hati-hati dengan Nenek Sali. Ia itu menjadi kaya karena memelihara makhluk halus. Itu sebabnya ia tidak memiliki anak. Anak angkat dan suaminya meninggal juga karena dijadikan tumbal makhluk halus peliharaannya. Sebaiknya kamu jangan pergi ke rumahnya lagi. Bisa-bisa kamu dijadikan tumbal berikutnya, nasihat bapak itu.
Aku menjadi bergidik dan hanya bisa mengangguk mengiyakan. Aku bergegas pulang dengan bulu kuduk merinding.
Keesokan harinya badanku terasa demam. Nenek segera membawaku berobat ke Puskesmas. Menurut dokter yang memeriksaku, aku terkena influensa. Aku diberi obat dan diminta untuk banyak beristirahat.
Selama tiga hari aku hanya bisa beristirahat di dalam rumah. Namun dari beberapa orang yang datang, aku mendengar bahwa aku dikabarkan telah dijadikan tumbal oleh Nenek Sali. Aku merasa sedih dan kasihan pada Nenek Sali. Kakek dan Nenek juga berusaha memberi tahu penduduk bahwa aku cuma terkena influensa.
Pada hari keempat, aku merasa sehat kembali. Aku berencana siang harinya akan datang ke rumah Nenek Sali. Aku ingin meminta maaf karena tidak menepati janjiku untuk datang tiga hari yang lalu. Selain itu, aku juga ingin meminta maaf, karena sakitku dijadikan berita yang tidak-tidak tentang Nenek Sali.
Namun aku hanya berencana saja. Tiba-tiba terdengar kabar bahwa Nenek Sali meninggal dunia. Aku sangat sedih dan terpukul. Bersama Kakek dan Nenek aku mengantar Nenek Sali ke tempat peristirahatannya yang terakhir. Dari bisik-bisik penduduk, aku mendengar mereka menduga bahwa Nenek Sali meninggal karena gagal menjadikan aku tumbalnya. Namun aku tidak mempercayainya. Aku semakin merasa kasihan pada Nenek Sali.
Keesokan harinya Mbok Surti bersama Pak Rio datang menemuiku. Ternyata Pak Rio adalah seorang notaris. Pak Rio memberi tahu bahwa aku dan Mbok Surti dijadikan ahli waris kekayaan oleh Nenek Sali. Mbok Surti telah dibelikan rumah dan sawah di desa asalnya. Sedangkan aku mendapatkan rumahnya yang sekarang, sawah, dan sejumlah tabungan di bank. Pak Rio juga menceritakan asal usul kekayaan Nenek Sali. Kekayaan tersebut dari harta karun yang ditemukan mendiang suami Nenek Sali, saat menggali lubang di halaman rumahnya. Mereka merahasiakannya karena dipaksa kolektor kaya yang memintanya dan membeli benda-benda tersebut.
Aduh, bagaimana ini? ujarku kebingungan. Tentu saja aku sangat terkejut dan tidak menduga sama sekali. Tiba-tiba saja aku menjadi orang kaya. Selama beberapa hari aku berpikir tentang harta warisan tersebut.
Akhirnya setelah berunding dengan Kakek dan Nenek, aku memutuskan menjadikan rumah tersebut panti asuhan. Sedangkan sawah dan tabungannya aku serahkan untuk biaya mengelola panti asuhan tersebut. Panti asuhan itu aku beri nama Panti Asuhan Nenek Sali. Aku yakin Nenek Sali setuju dan bahagia, karena sebentar lagi rumahnya akan penuh dengan anak-anak yang ceria.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kumpulan Cerpen dan Dongeng Bobo 2001
Historia CortaD A F T A R I S I Bobo Nomor 8 Tahun XXIX 24 Mei 2001 - Cerpen "Jangan Bukan Amplop Ini" oleh Ellen Kristi - Dongeng "Lelaki Penunggang Beruang" oleh Ayu S. Aulina - Cerpen "Pengalaman Baru Pino" oleh Ny. Widya Suwarna Bobo Nomor 9 Tahun XXIX 31 M...