Oleh Dian Mariana
Bobo Nomor 32 Tahun XXIX 8 November 2001
Fanny memperlihatkan pensil barunya dengan bangga. Di ujung pensil itu ada kepala Mickey Mouse sedang tersenyum. Bagus sekali.
"Beli di mana?" tanya Keke seraya melihat pensil itu lebih dekat lagi.
"Oleh-oleh pamanku dari Disneyland, Amerika," jawab Fanny bangga.
"Itu sih tidak usah di Amerika. Di sini juga sudah banyak."
Fanny menoleh mendengar suara ketus itu. Lagi-lagi Yana!
"Tapi ini betul-betul dari Amerika," kata Fanny sengit.
"Mana ada yang tahu kalau kamu bohong," Yana melenggang pergi.
"Huh! Kenapa sih anak itu selalu ketus padaku," ujar Fanny kesal.
"Dia iri, Fan. Peralatanmu kan bagus dan buatan luar negeri," kata Lia.
"Iya. Coba bandingkan. Sepatu Yana itu sudah usang," timpal Ruli. "Mulai sekarang kamu harus hati-hati, Fan. Yana kan jago bikin ulah."
"Sudahlah! Yana kan tak pernah senang padamu," Keke menenangkan.
Beberapa hari kemudian,
"Fan, kemarin aku membeli pensil yang persis punyamu," Susi memperlihatkan pensil barunya. Fanny terbelalak tak percaya. Memang mirip sekali. "Coba lihat pensilmu, Fan. Biar dibandingkan," desak Susi.
Fanny membuka tempat pensilnya. Lo, ke mana pensil itu? Fanny mengeluarkan semua bukunya di atas meja. Tetap tidak ada. Fanny panik.
"Mungkin tertinggal di rumah, Fan," Keke menenangkan.
"Tidak mungkin. Tadi sebelum istirahat aku masih melihatnya kok."
Mereka kini mencari di kolong meja, di tas baju olah raga .... Tidak ada!
"Mungkin ada yang mengambilnya saat kelas kosong tadi. Waktu semua sedang ganti baju olah raga," kata Susi.
Fannya sudah hampir menangis. Pensil kesayangannya dicuri orang?
"Mungkin dicuri orang yang iri padamu, Fan," Sasa memberi usul.
Fanny tiba-tiba teringat kejadian dua hari lalu. Saat ia memamerkan pensil barunya itu, ada seorang temannya yang ketus.
"Yana ..." bisik Fanny tanpa sadar.
"Yana? Ya, mungkin juga. Ia sangat sinis padamu hari itu," kata Ruli.
"Ya, ya, pasti Yana!" ujar teman-teman Fanny lainnya.
"Sebaiknya kita tidak menuduh seseorang dulu," ujar Keke.
Bel berbunyi, tanda waktu istirahat selesai. Pelajaran matematika akan dimulai. Ketika Ibu Maria memasuki kelas, Yana berlari masuk terengah-engah.
"Itu dia pencurinya!" teriak salah seorang teman Fanny.
Yana tertegun.
"Mencuri apa?" tanyanya tidak mengerti.
Ibu Maria juga ikut bingung. "Ada apa ini? Siapa mencuri?"
"Pensil baru Fanny hilang, Bu. Yana yang mengambilnya."
Ibu Maria menghampiri tempat duduk Fanny.
"Pensil kamu hilang, Fan? Sudah kau cari ke mana-mana?"
Fani mengangguk.
"Lalu, kenapa menuduh Yana? Ada bukti?" tanya Bu Maria.
"Dua hari lalu, Yana tampak iri pada saya, Bu. Waktu itu saya baru saja membawa pensil itu ke sekolah," kata Fanny perlahan.
"Hanya itu? Bukan berarti Yana pencurinya, kan?" Bu Maria menghampiri Yana, lalu bertanya padanya, "Apa benar kamu yang mencurinya?"
"Tidak, Bu!" Yana menggeleng marah.
"Anak-anak, kalian tidak boleh menuduh orang tanpa bukti. Itu tidak baik." Ibu Maria lalu berjalan ke depan kelas. "Sekarang, Ibu memberi kesempatan pada kalian untuk mengaku."
Seisi kelas terdiam. Tidak ada yang berani berkutik.
"Seperti apa rupa pensilmu itu, Fan?" tanya Bu Maria sebelum mulai memeriksa tas anak-anak satu per satu. Fanny menjelaskan dengan mendetail.
Ketika tiba pada tas Ruli, Ibu Maria berseru, "Aha! Seperti ini, ya?" katanya sambil mengangkat sebuah pensil. Benar! Pensil itu milik Fanny. Ah, Ruli?!
"Kenapa bisa ada di tasmu, Ruli?"
Ruli terdiam. Matanya berkaca-kaca. Isakannya mulai terdengar.
"Pasti ada alasan kenapa Ruli melakukannya," kata Bu Maria lembut.
"Saya ingin memberikannya pada adik saya, Bu. Adik saya tidak pernah mempunyai barang bagus seperti itu," kata Ruli perlahan di tengah isakannya.
"Tapi bukan seperti ini caranya. Apa pun alasannya, mengambil barang milik orang lain itu, salah. Sekarang, cepat minta maaf padanya, dan berjanjilah untuk tidak mengulanginya lagi," Ibu Maria membelai kepala Ruli.
Ruli menghampiri tempat duduk Fanny. "Maafkan aku, Fan ...."
Fanny mengangguk lemah. Ia tidak menyangka Ruli pencurinya. Ibu Maria sudah memulai pelajaran, tapi Fanny tidak dapat berkonsentrasi. Ia merasa bersalah pada Yana. Sepulang sekolah, Fanny menunggu Yana.
"Yana, aku minta maaf. Aku sudah menuduhmu," Fanny tertunduk.
"Tidak apa-apa. Mungkin aku juga bersalah, karena selalu ketus padamu. Aku memang tidak suka pada orang yang suka pamer," kata Yana.
Fanny terkejut. Jadi selama ini, itulah yang membuat Yana selalu sinis padanya. Karena ia suka memamerkan barang-barang kepunyaannya?
"Sikapmu itu bisa mengundang pencuri. Untuk apa sih pamer?"
Yana membereskan barang-barangnya. Sepatu olahraganya yang usang dimasukkannya ke dalam plastik. Sekilas Fanny melirik label sepatu itu. Made in USA. "Sepatu kamu itu ... dari luar negeri?" tanyanya ragu.
Yana mengangguk. "Ayahku bekerja di Kedutaan Amerika."
Fanny membelalak.
"Kamu kaget? Aku punya banyak barang dari luar negeri. Tapi untuk apa dipamerkan? Lagi pula aku lebih suka memakai barang lama. Kecuali kalau barang itu sudah tidak bisa dipakai lagi."
Fanny terdiam. Hari itu ia benar-benar mendapat pelajaran berharga. ***
Hai! Terima kasih telah membaca kliping cerita ini. Kalau kamu suka membaca kliping sejarah juga, silakan berkunjung ke http://klipingsejarahku.blogspot.com/.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kumpulan Cerpen dan Dongeng Bobo 2001
Storie breviD A F T A R I S I Bobo Nomor 8 Tahun XXIX 24 Mei 2001 - Cerpen "Jangan Bukan Amplop Ini" oleh Ellen Kristi - Dongeng "Lelaki Penunggang Beruang" oleh Ayu S. Aulina - Cerpen "Pengalaman Baru Pino" oleh Ny. Widya Suwarna Bobo Nomor 9 Tahun XXIX 31 M...