Oleh: S. Parti
Bobo Nomor 41 Tahun XXVIII 11 Januari 2001
Pagi itu Dawam dan emaknya numpang truk milik Pak Kolil. Mereka berdua akan pergi ke kota. Kebetulan Pak Kolil mengambil pasir di sungai dekat rumah Dawam dan akan dikirim ke kota. Dawam sudah amat akrab dengan sopir truk itu. Pak Kolil adalah langganan tetap Paman Wiro. Sepulang sekolah, Dawam selalu membantu Paman Wiro mencari pasir di sungai, sambil menggembalakan itik.
"Kabarnya kau kemarin ke Jakarta, Wam?" tanya Pak Kolil dalam perjalanan.
"Ya. Mewakili sekolah untuk lomba cerdas cermat tingkat nasional, Pak," jawab Dawam.
"Pamanmu tadi bilang, kau menjuarai lomba itu?"
Dawam tersenyum sambil mengangguk. Emaknya menyahut, "Tentu berkat doa restu Pak Kolil," katanya sambil tersenyum.
"Ha ha ha ha ... syukurlah kau jadi anak pintar. Aku turut bangga," kata sopir truk itu tertawa. "Berapa ratus ribu hadiahnya, Wam?"
"Ah. Tidak begitu banyak, Pak," jawab Dawam. Ia jadi teringat uang di sakunya sejumlah seratus lima puluh ribu. Sebagian dari uang itu hadiah lomba di Jakarta, ditambah hasil penjualan telur itik, dan hasil kerja membantu Paman Wiro mencari pasir. Uang itu ia tabung sejak dua tahun lalu. Mudah-mudahan cukup untuk membeli sebuah mesin jahit buat Emak, pikirnya.
Sehari-harinya Emak bekerja membantu menjahit baju di tempat Bu Emi, tetangganya. Itu sebabnya sejak beberapa tahun lalu Dawam sangat ingin membelikan Emak mesin jahit. Agar Emak bisa bekerja mandiri menerima jahitan.
"Wam, kita sudah sampai. Pasir akan kuturunkan di sini. Di sebelah itu akan dibangun sebuah bank. Nanti kau bisa menabung di situ," kata Pak Kolil.
"Oh ya, terima kasih, Pak," jawab Dawam.
"Oh ya. Toko Harapan terletak di ujung jalan sana. Bisa naik becak atau jalan kaki," jelas Pak Kolil, karena tadi Dawam mengatakan akan mengantar emaknya ke Toko Harapan. "Dan nanti pulangnya sama-sama aku lagi. Kutunggu di sini!"
Dawam dan emaknya mengangguk. Mereka lalu berjalan kaki menyusuri trotoar, melewati sebuah universitas. Langkah Dawam tiba-tiba terhenti. Ia menatap emaknya sedang menyeka air matanya dengan ujung kerudungnya.
"Kenapa, Mak? Emak mabuk naik truk tadi?" tanya Dawam sedikit cemas.
"Tidak. Emak hanya teringat ayahmu. Dulu, ayahmu ikut membangun gedung universitas itu. Apa kau besok juga sempat belajar di situ?" gumam Emak lirih. Ia teringat pada Dawam yang sudah harus bekerja keras membantunya mencari nafkah dan biaya sekolah.
"Entah, Mak," jawab Dawam tertunduk.
Emaknya memang sering bercerita tentang almarhum ayahnya yang seorang tukang batu terampil. Ayah sering diajak para pemborong membangun berbagai gedung di kota. Bahkan Emak juga sering memuji Dawam yang semangat kerjanya mirip sekali dengan Ayah.
"Ayaolah, Mak, kita ke toko itu!" Dawam menggandeng tangan emaknya.
Di Toko Harapan terdapat berbagai merek mesin jahit. Dari yang harganya murah hingga yang paling mahal. Mereka berdua akhirnya memilih mesin jahit bermerek Butterfly. Seperti milik Bu Emi yang biasa dipakai Emak setiap hari.
"Ini kado ulang tahun buat Emak. Selamat ulang tahun, semoga panjang umur," kata Dawam menyalami emaknya.
Wanita itu kaget. Ia baru ingat kalau hari itu bertepatan dengan ulang tahunnya yang ke-47. Diusapnya rambut Dawam dengan penuh kasih sayang. Hampir saja air matanya jatuh karena haru.
"Barangnya nanti sore akan diantar, Dik," ujar petugas toko saat Dawam membayar di kasir. Langkah Dawam terasa begitu ringan saat keluar dari toko itu. Hatinya lega karena apa yang diinginkannya selama ini sudah tercapai. Jika saja ia tidak rajin belajar dan memenangkan lomba di Jakarta, keinginan itu tentu masih tertunda entah berapa tahun lagi.
Dalam hati Dawam berkali-kali mengucap syukur kepada Tuhan. Karena kemurahan-Nya lah ia bisa memberikan kado kepada emaknya. Semoga dengan kado mesin jahit itu emaknya bisa bekerja mandiri, seperti pesan almarhum ayahnya sebelum meninggal.
"Lo? Kau beli apa, Wam? Kok tidak bawa apa-apa?" tanya Pak Kolil yang sudah cukup lama menunggu mereka berdua.
"Ini, Pak Kolil. Dawam kan membelikan aku mesin jahit," kata emaknya menjelaskan. "Nanti mesinnya diantar petugas toko itu ke rumah."
"Ha ha ha ha ... bagus, Wam. Biar emakmu besok buka usaha jahitan di rumah," Pak Kolil tertawa senang.
Dawam tersenyum. Mereka kemudian menuju ke truk yang sudah kosong muatannya karena pasir telah diturunkan. Pak Kolil membuka pintu truknya dan mengambil dua bungkusan yang terletak di depan setir.
"Wam, aku juga turut bangga atas prestasimu memenangkan lomba di Jakarta. Nah, ini sepatu dan tas sekolah sebagai kenang-kenangan untukmu. Tetaplah rajin belajar dan selalu membantu emakmu!" kata Pak Kolil sambil menepuk bahu Dawam.
"Terima kasih, Pak," ujar Dawam.
Pak Kolil memang menganggap Dawam seperti anak sendiri. Pak Kolil pernah bercerita tentang Zulham, anak satu-satunya. Jika saja anak itu dikaruniai umur panjang, sekarang pasti sudah sebaya dengan Dawam. Sayang Zulham waktu masih kecil menderita polio hingga akhirnya meninggal. Sampai sekarang Pak Kolil belum dikaruniai lagi seorang anak pun.
Truk itu pun kemudian beranjak perlahan-lahan berjalan meninggalkan kota. ***
Hai! Terima kasih telah membaca kliping cerita ini. Kalau kamu suka membaca kliping sejarah juga, silakan berkunjung ke http://klipingsejarahku.blogspot.com/.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kumpulan Cerpen dan Dongeng Bobo 2001
Historia CortaD A F T A R I S I Bobo Nomor 8 Tahun XXIX 24 Mei 2001 - Cerpen "Jangan Bukan Amplop Ini" oleh Ellen Kristi - Dongeng "Lelaki Penunggang Beruang" oleh Ayu S. Aulina - Cerpen "Pengalaman Baru Pino" oleh Ny. Widya Suwarna Bobo Nomor 9 Tahun XXIX 31 M...