Penghuni Rumah Tua

87 8 0
                                    

Oleh Andy Indrayanto

Bobo Nomor 37 Tahun XXIX 13 Desember 2001


"Tendang bolanya ke sini, Yan!" teriak Fajar seraya bergegas menuju daerah lawan. Sekejap saja dia sudah berada di depan gawang musuhnya, diapit ketat oleh Ari. Iyan menggocek bola dulu lantas menendangnya kuat-kuat ke arah Fajar. Bola melambung jauh di atas kepala kawan-kawannya, dan ... BLASSS!

Bola warna hitam-putih yang baru dibeli Fajar kemarin itu jatuh di halaman rumah tua. Persis di dekat kursi goyang milik penghuni rumah tua itu. Mereka menahan napas lalu saling berpandangan.

"Yah, hilang lagi deh bolaku!" keluh Fajar sembari menatap bolanya dari balik pagar. Ini memang bola ketiganya yang masuk ke halaman rumah tua itu. Sebelumnya dua bola miliknya mengalami hal yang sama. Mereka sebenarnya ingin mengambil bola itu. Cuma mereka takut dengan penghuni rumah tua itu!

Konon, rumah bergaya kuno dengan halaman luas itu hanya dihuni oleh seorang nenek. Nenek Ijah namanya. Baru satu bulan Nenek Ijah menempati rumah itu. Dan selama itu, mereka jarang sekali melihatnya keluar atau berkunjung ke rumah tetangga. Namun pada pagi hari atau menjelang senja, orang-orang yang melewati rumah itu akan melihat seorang nenek berambut putih tergerai. Ia selalu duduk santai di kursi goyangnya.

Hampir setiap orang yang melihatnya langsung lari terbirit-birit. Hirli, saudara sepupu Fajar, malah pernah mendengar suara-suara menyeramkan di rumah tua itu.

"Sungguh! Aku mendengar sendiri suara melengking seperti jeritan orang dari rumah Nenek Ijah. Untung saja waktu itu aku bersama ayahku. Kalau tidak, mungkin aku langsung pingsan sat itu juga!" begitu cerita Hirli.

Dan mereka percaya pada cerita Hirli. Apalagi rumah itu tampak seram dan tak terawat. Rumput halamannya tinggi-tinggi dan catnya terkelupas di sana-sini.

"Bagaimana sekarang, Jar?" tanya Iyan yang merasa bersalah.

"Aku sendiri tak tahu harus bagaimana," Fajar menggeleng pelan. "Jangankan untuk mengambil bola, membuka pintu pagarnya pun aku tak berani," sahutnya lesu.

"Itu berarti kita tidak bisa main bola lagi dong!" Devila yang sedari tadi diam mulai buka suara. Helaan napas kecewa terdengar dari mulut mereka.

"Heh, bagaimana kalau kita semua masuk mengambil bola itu?!" usul Endi tiba-tiba. "Kita kan berenam! Masak takut sama nenek-nenek!" lanjutnya antusias.

"Tapi bagaimana dengan cerita Hirli itu?" Agus agak ragu.

"Tapi bagaimana dengan cerita Hirli itu?" Agus agak ragu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Fajar menganggukkan kepalanya. "Aku setuju dengan usul Endi. Tak ada salahnya kalau kita coba!" Fajar langsung menghampiri pintu pagar rumah tua itu. Entah kekuatan dari mana yang datang. Tak tampak rasa takut di wajahnya. Mungkin kali ini dia tak ingin bola ketiganya hilang begitu saja.

Dengan hati-hati mereka membuka pintu pagar. Ketika hanya tinggal beberapa langkah saja dari kursi goyang, mereka sontak terperanjat. Agus malah berteriak. Dari samping rumah tua itu, mendadak muncul Nenek Ijah dengan rambut putihnya yang tergerai. Ia tertawa terkekeh-kekeh.

"Sedang apa kalian di sini, cucu-cucuku?" suara Nenek Ijah yang berat makin membuat mereka terpaku di tempat.

"Ka ... ka ... kami mau mengambil bola itu, Nek," Endi menjawab gemetar.

Nenek Ijah tersenyum pada mereka. Lalu mengambil bola yang jatuh di dekat kursi goyangnya. Ia memberikannya pada Fajar. "Kalian mau menemani Nenek makan kue di dalam?" sambung Nenek Ijah ramah.

Keenam anak itu berpandangan mendengar tawaran menarik Nenek Ijah. Makan kue? Wow, pasti menyenangkan. Tapi mereka kembali teringat cerita-cerita seram mengenai rumah tua serta penghuninya ini.

 Tapi mereka kembali teringat cerita-cerita seram mengenai rumah tua serta penghuninya ini

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Nenek Ijah lagi-lagi tersenyum, seperti memahami ketakutan mereka. "Sebenarnya dulu Nenek tinggal di desa ini. Setelah Kakek meninggal, Nenek tinggal berdua di sini dengan putri tunggal Nenek. Namanya Rina. Ketika Mbak Rina menikah dan tinggal di kota lain, Nenek pun diboyongnya. Hampir sepuluh tahun lamanya Nenek tinggal di kota. Kini cucu-cucu Nenek sudah besar. Nenek ingin kembali tinggal di desa. Nenek tidak kuat kalau tinggal di kota. Bising!" kata Nenek Ijah sambil tertawa terkekeh-kekeh.

Keenam anak itu pun ikut tertawa.

"Tapi ... suara jeritan orang itu, Nek?" tanya Devila ragu-ragu.

"Oh, mungkin itu suara kaset dari piringan hitam. Nenek memang mengoleksi dan menyukai lagu-lagu klasik dan seriosa. Musik seperti itu kan suara penyanyinya melengking-lengking. Dari luar sepintas kedengarannya memang seperti orang yang menjerit."

"Jadi ...."

"Jadi cerita seram yang kalian dengar itu sebenarnya bohong. Dan rumah Nenek ini memang tidak terawat. Sebab Nenek sudah tua. Mana sanggup Nenek memotong rumput di halaman seluas ini?" kembali Nenek Ijah tertawa terkekeh-kekeh. "Tapi bila kalian mau memotong rumput di halaman ini, kalian boleh bermain di sini. Halaman rumah Nenek kan cukup luas untuk bermain sepak bola!"

"Jadi ... kami boleh main bola di sini, Nek?"

Nenek Ijah mengangguk seraya tersenyum. "Dan ini sekaligus untuk menghapus cerita bohong tentang rumah tua ini."

Kini tak ada lagi rasa takut di wajah mereka. Malah dengan riangnya mereka menikmati kue sambil mendengarkan cerita dari Nenek Ijah. ***


Hai! Terima kasih telah membaca kliping cerita ini. Kalau kamu suka membaca kliping sejarah juga, silakan berkunjung ke http://klipingsejarahku.blogspot.com/.

Kumpulan Cerpen dan Dongeng Bobo 2001Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang