"Tadi dia udah kayak mau nangis gitu emang lo nggak curiga?"
Tidak dapat dipungkiri, kalimat Jesya tadi sore itu benar-benar membuat pikiran Abi berkecamuk. Mengingat kembali bagaimana berubahnya Jeje tiga tahun terakhir ini membuat semua perkataan Jesya terasa masuk akal, bagaimana kalo Jeje kenapa-kenapa?
Aduh, mana tadi beli cutter lagi?
"Bismillah," ucap Abi malam itu dengan tangan yang memegang handle pintu kamar Jeje. Berharap pikiran buruknya salah.
Abian memejamkan matanya sejenak, lalu dengan segera membuka pintu kamar Jeje.
Jeje yang sedang meniup-niup ujung jarinya tersentak, menoleh ke arah lawang pintu kamarnya. "Apa?" tanyanya pada Abi.
"Kenapa?" balas Abi malah balik bertanya.
"Kenapa apanya?"
Abi tidak lagi menyahuti, kini melangkah menghampiri Jeje yang sedang duduk di atas kursi meja belajarnya. Pria itu berjongkok, meraih kedua tangan Jeje yang kini melongo bingung.
Abi meneguk ludahnya saat melihat sedikit bercakan darah pada cutter di meja belajar Jeje, mata pria itu kemudian beralih pada ujung jari telunjuk Jeje yang mengeluarkan darah.
"Kenapa?" tanya kakang, dadanya kini perlahan terasa sesak.
"Kenapa apanya sih?" jawab Jeje kembali dibuat bingung dengan tingkah Abian yang sedetik kemudian, ia melebarkan matanya saat menyadari maksud dari ucapan-ucapan kakangnya. "Nggak kang! Astaghfirullah!"
Perempuan itu kemudian menyingkap lengan bajunya untuk menunjukkan kedua pergelangan tangannya. "Bersih kang! Ya Allah pikiran kakang jelek banget!"
Lutut Abian melemas seketika, ia terduduk seraya kini, menatap Jeje kesal. "Terus itu cutter-nya kenapa ada darahnya gitu? Bikin suudzon tau nggak sih!"
"Ini nggak sengaja kegores kang! Astaghfirullah ih! Jelek banget ah, lo mah gitu!" omel Jeje seraya menunjukkan jari telunjuknya yang tadi tidak sengaja tergores cutter-nya saat sedang memotong kertas. "Sana ah, pergi! Yang pikirannya jelek nggak boleh ada di sini!"
Kakang mengerucutkan bibirnya, kini menurut segera melangkah keluar dari dalam kamar Jeje yang bertepatan dengan itu, Esa terlihat melangkah hendak menuju dapur.
"Kang tanyain si Joko dong," titahnya. "Tanyain Anya gimana kondisinya gitu tadi di chat ga aktif soalnya."
Kang Bian merogoh saku celananya, meraih ponselnya dan mulai mengetikan pesan pada Joko—teman yang juga adik laki-lakinya Anya. Pemuda itu mengetikan pesan seraya terus melangkah mengekori Esa.
"Udah bobo katanya," ucap Abi memberitahukan balasan pesan dari Joko kepada Esa.
"Terus kondisinya gimana? Masih panas nggak?" tanya Esa lagi kini tangannya bergerak, mulai mengisi panci pink-nya dengan air.
Pria itu melangkah, menghampiri kulkas dan membawa sebungkus Indomie rasa kocok Bandung dari sana.
"Katanya tadi udah dikompres jadi udah mendingan," jawab Abi setelah kembali menerima balasan pesan dari Joko.
"Terus udah minum obat belum?"
"Lo tanyain sendiri aja sih!" omel Kang Bian tak tahan juga terus-terusan jadi perantara seperti ini.
"HP-nya di cas," balas Esa dengan cueknya.
Abi berdecak kesal, kini segera melangkah pergi dari sana. Tidak mau lagi menuruti perintah Esa. "Tanyain aja sendiri, kuota Abian abis."
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Princess
Random"Our princess," begitu katanya abang. Tapi Jeje nggak pernah ngerasa diperlakukan seperti princess oleh ketiga kakak laki-lakinya. ⚠️⚠️⚠️ tw // abusive tw // mention of bullying tw // harsh word Copyright © 2021, faystark_