Nathan meraih jaketnya, memakainya dengan sambil melangkah ke luar kamar dan memghampiri Esa, Abian, juga Jeje di ruang makan.
"Widiih pagi-pagi udah ganteng, mau ke mana nih?" tanya Jeje.
"Nganter Jesya sekolah," jawab Nathan seadanya.
"Lah? Si Jesya mau sekolah? Kok nggak cerita ke gue?" tanya Abi mengernyit bingung karena biasanya Jesya selalu melaporkan hal-hal kecil yang akan dilakukannya ke group chat WhatsApp-nya bersama Sonia dan Jusuf.
"Ngapain dia cerita ke elo? Kan gue yang cowoknya."
"Sarapan dulu bang," titah Esa.
Nathan hanya mengambil selembar roti dan langsung melahapnya sambil melangkah ke luar dari dalam rumah. Menyalakan motornya, menyapa Mang Asep, lalu melaju pergi menuju rumah Jesya.
♔♔♔
Sehari setelah Jean dikebumikan. Ibu langsung melaporkan bapak, menggugat segala perbuatan jahatnya juga menggugat untuk cerai.
Ibu sudah muak, sudah mencapai batas kesabarannya.
Dan pagi ini, bapak datang melangkahkan kaki ke rumah dengan segala penyesalannya.
"Masih berani nginjekin kaki di sini kamu hah?!" bentak ibu. "Ga punya malu kamu?! Bangsat!"
Bapak diam, tak berani menyahuti. Menunduk membiarkan ibu membentaknya. Wajahnya ketara, penuh akan penyesalan. Bapak juga kehilangan.
"Ngapain ke sini anjing?! Mati kamu!"
"Aku juga kehilangan Jean!"
"Bangsat! Kamu nggak berhak ngerasa kehilangan gitu bedebah!" umpat ibu seraya menunjuk-nunjuk pada dada bapak dengan jari telunjuknya. Matanya memerah melotot marah dengan urat-urat leher yang menonjol. "Kamu itu ga punya hati! Kamu nggak bisa kehilangan gitu! KAMU SENDIRI YANG BIKIN DIA PERGI BANGSAT! KAMU GA BERHAK KEHILANGAN, ANJING!"
Tetapi temperamental bapak memang masih buruk, maka satu tamparan itu didapatkan oleh sang ibu. "AKU ITU BAPAKNYA JEAN! JEAN JUGA ANAK AKU!"
"KAMU YANG BIKIN DIA PERGI! KAMU GA BERHAK JADI BAPAKNYA DIA!KAMU YANG HARUSNYA MATI BANGSAT! KAMU YANG HARUSNYA MATI!" bentak ibu kini meraih barang-barang di sekitarnya dan melemparkannya pada bapak. "JEAN YANG HARUSNYA ADA DI SINI! BUKAN KAMU! KAMU YANG HARUSNYA MATI!"
"UDAH!" bentak bapak, melangkah dan mencengkram kerah baju ibu. "SIAPA KAMU BERANI NGELEMPARIN AKU HAH?!"
"AKU IBUNYA JEAN!" bentak ibu tak kalah kerasnya dari bapak. Bapak semakin menguatkan cengkramannya, matanya melotot marah.
"Kalo nyampe berani lemparin aku lagi–"
"APA HAH?! MAU NGANCEM APA LAGI?!" potong ibu. "JEAN UDAH KAMU BUNUH, MAU NGANCEM APA LAGI?!"
Bapak mengangguk dengan napas yang memburu marah, ia mendorong ibu dan segera melangkah menuju kamar Jesya.
"JANGAN BERANI-BERANI NYENTUH JESYA BANGSAT!" sentak ibu segera menyusul langkah bapak.
Tetapi langkah bapak cepat, segera memasuki kamar Jesya. Menghampiri perempuan itu yang sejak tadi bersembunyi ketakutan di balik pintu. Tangannya bergerak menjambak rambutnya dan menyeretnya ke luar kamar.
"GINI MAU KAMU HAH?!" sentak bapak.
"JANGAN BERANI-BERANINYA NYENTUH JESYA, KAMU NAJIS!" balas ibu sembari memukul-mukul tangan bapak. Berusaha melepaskannya dari rambut Jesya.
Sementara itu, Jesya menangis kesakitan. "Maafin Jesya, pak," ucapnya pelan dengan suara bergetar. "Maafin Jesya."
Tetapi syukurnya tak lama polisi datang, salah satu tetangga memanggilnya. Berbarengan dengan itu juga Nathan datang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Princess
Diversos"Our princess," begitu katanya abang. Tapi Jeje nggak pernah ngerasa diperlakukan seperti princess oleh ketiga kakak laki-lakinya. ⚠️⚠️⚠️ tw // abusive tw // mention of bullying tw // harsh word Copyright © 2021, faystark_