73. Bunga untuk Papa

97 23 1
                                    

Abi pernah mendengar, katanya jika berantem dengan seseorang itu tidak boleh lebih dari tiga hari.

Tetapi untuk kali ini, Abian meminta maaf karena melebihi batas itu. Sudah terhitung tiga minggu sejak hari di mana berakhirnya hubungan Abian dan Sherin yang terbilang cukup tidak dengan cara baik-baik.

Baik dengan Sherin maupun dengan Sonia, Abian sudah tidak lagi berhubungan. Lebih parah dari sebelumnya.

Hari ini, hari terakhir ujian untuk penilaian akhir semester. Hari Jum'at, Abian pulang bersama Jeje naik angkot karena motor kakang mogok sedang di bengkel dan untuk kasus yang kali ini cukup parah sehingga tidak dapat diselesaikan untuk waktu yang singkat.

"Cup, katanya mau main dulu! Hari terakhir ujian masa nggak dirayain sih?" tanya Jusuf di koridor sekolah bersama Jesya dan Sonia.

Abian menghentikan langkahnya, berbalik, kemudian menyahuti. "Gue nggak ikut."

"Ah elah, lo mah gitu anjir! Udah hampir sebulan lo ngejauh, gue kick juga ya dari group!" omel Jesya.

Tetapi Abian menyahuti dengan begitu santainya. "Tinggal kick aja." Lalu segera melengos pergi dari sana.

Ia melangkah, menuruni tangga dan menghampiri kelas Jeje yang di sana si bungsu sudah berdiri menunggu.

"Ke depan yuk! COD bunganya di depan gerbang, si tetehnya udah ada di sana," ajak Jeje, sambil mulai melangkah bersama dengan kakang menuju depan gerbang.

Menghampiri penjual bunga untuk COD, dan setelah membayar dan menerima bunga yang telah dibeli, keduanya segera menaiki angkot yang memang sudah banyak mangkal di depan sekolah.

Setelah penuh, angkot pun melaju melewati jalanan yang cukup ramai itu. Gerah, sumpek, lagu DJ remix terputar cukup keras. Tau angkot sudah penuh, tetapi sang supir terus saja berhenti untuk menarik penumpang.

Abian segera keluar begitu melihat penumpang yang naik adalah seorang ibu hamil yang usia kandungannya terlihat sudah tua. Besar. Pemuda itu segera mempersilahkannya untuk masuk dan duduk di tempat yang sebelumnya ia duduki sementara dirinya berdiri di lawang angkot.

Jeje samar tersenyum di tempatnya. Sedikit merasa bersalah karena pernah berpikir jika Abian ini sebenarnya laki-laki berengsek, tetapi ternyata tidak. Abian hanya manusia biasa seperti yang lainnya, Abian baik.

Setelah sampai di tempat tujuan, Jeje segera menyuruh supirnya untuk berhenti, keluar bersama Abian, lalu setelah membayar ongkos keduanya lanjut melangkah menyusuri jalan yang sedikit lebih kecil.

Keduanya berbelok, memasuki sebuah pemakaman, melangkah menuju makam papa, lalu berhenti di sana. Mendo'akan papa, membersihkan makamnya, menaburi bunga, lalu diam sejenak.

"Kangen ya Je," ucap Abi.

"Iya," sahut Jeje mengiyakan.

Abian menghela napasnya cukup berat. "Kayak nggak kerasa aja gitu, perasaan baru kemarin papa ngajakin jalan-jalan ke pangandaran, sekarang udah bulan Desember aja," cerita kakang.

"Eh iya, bentar lagi kakang ulang tahun!" seru Jeje.

"Masih lama, baru juga tanggal tujuh," ujar Abian cuek. "Nggak penting juga sih."

"Oh iya, mending pikirin UN bentar lagi tuh, kapan sih? April ya?"

"Atuh Jeje ih! Jangan diingetin, baru juga beres ujian!" protes kakang diakhiri dengan decakkan kesalnya.

Jeje hanya merapatkan bibirnya saja mendengar itu.

Kini keduanya sama-sama terdiam, hanya terdengar suara gemerisik daun yang tertiup angin. Rambut Abian dan Jeje turut tergerak oleh angin yang cukup besar dan menyejukkan sore itu.

Our PrincessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang