"Kakaaangg jajan nasi TO Bu Dian yuk! Jeje laper."
Abian yang semula asik ngaca langsung menoleh dengan mata berbinar. "Yuk! Kakang juga laper," sahut kakang menyetujuinya.
"Minta duitnya ke Kak Esa dong kang," titah Jeje yang mendapat gelengan dari kakang.
"Gamau ah, sama Jeje aja kakang mau minjem motor ke abang," tolak kakang segera melangkah keluar dari kamarnya meninggalkan Jeje yang menekuk wajahnya kesal.
Jeje akhirnya mau tidak mau segera menuju kamar Esa untuk meminta uang pada kakaknya itu.
"Kak Esa...." cicitnya begitu mendapati Esa sedang sibuk mengobrak-abrik lacinya.
"Apa?" sahut Esa.
"Minta uang."
"Bentar, Esa lagi nyari kunci mobil."
"Tapi Jeje laper, mau beli nasi TO Bu Dian sama kakang."
"Dibilangin bentar, bentar! Bisa denger nggak?!" sahut Esa tanpa sadar menaiki intonasi bicaranya.
Esa beneran lagi emosi karena bentar lagi mama nyampe, Esa disuruh menjemput ke bandara tapi kunci mobilnya tiba-tiba saja hilang. Hingga sekitar lima menitan, ia tak kunjung jua merespon Jeje yang hanya diam tak berani lagi mengucapkan kata.
Sadar dan merasa bersalah, akhirnya Esa menghela napas seraya menoleh dan meraih dompetnya. "Berapa?" tanyanya.
"Berapa aja, berdua sama kakang," jawab Jeje tidak seperti biasanya, masih sakit hati habis dibentak Esa.
"Nih," ucap Esa seraya memberikan selembar uang lima puluh ribu kepada Jeje.
Tanpa mengucap apa-apa lagi akhirnya Jeje segera melangkah pergi menghampiri kakang yang menunggu di ruang keluarga.
"Udah? Naik sepeda ya, motornya mau dipake," ucap kakang lalu sedetik kemudian mengernyit, sadar mimik wajah Jeje yang terlihat sedikit murung. "Kenapa?"
Jeje hanya menggeleng menanggapinya. "Yuk ah, laper," ucapnya segera melangkah mendahului kakang menuju garasi.
Kakang mengekori, setelah sampai, ia memakaikan helm yang hanya ada satu kepada Jeje.
"Pake sama kakang aja, kan Jeje yang dibonceng," tolak Jeje.
"Emang kalo dibonceng, menjadikan Jeje aman gitu?"
"Terus kalo helmnya dipakein ke Jeje, kakang juga jadi aman gitu?"
"Udah, kakang mah kuat kalo ada apa-apa juga ga bakalan kenapa-napa," ucap kakang kini segera menaiki sepedanya.
Jeje menyusul duduk di belakangnya. Dibonceng kakang menuju warung nasi TO bu Dian yang untungnya ga jauh-jauh amat walau kalo jalan kaki tetep jauh sih.
"Jeje kenapa sih?" tanya kakang ditengah kegiatannya mengendarai sepeda.
"Gapapa," jawab Jeje seraya kini pandangannya mengitari sekitar.
Lampu-lampu jalanan, lampu-lampu dari kendaraan yang entah kenapa malam ini terasa ramai, lampu dari toko-toko, rumah-rumah, lampu lalu lintas. Malam ini entah kenapa terasa begitu nyaman bagi Jeje, hembusan anginnya juga pemandangan langitnya yang bertaburkan gemintang, amat mendukung suasana menyenangkan yang membuat hati Jeje terasa berbunga-bunga.
Jeje samar tersenyum, merasakan euphoria yang amat menyenangkan itu.
"Woi!"
Tapi suara kakang menghancurkan segalanya.
Wajah Jeje kembali ditekuk sebal. "Apasih! Ganggu banget!" gerutunya.
"Udah nyampe ini, turun dong!" kata kakang membuat Jeje tersadar sepenuhnya jika kini sepedanya sudah berhenti.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Princess
Acak"Our princess," begitu katanya abang. Tapi Jeje nggak pernah ngerasa diperlakukan seperti princess oleh ketiga kakak laki-lakinya. ⚠️⚠️⚠️ tw // abusive tw // mention of bullying tw // harsh word Copyright © 2021, faystark_