"Nyet! Nyet!"
Joshua yang semula sedang fokus pada ponselnya menoleh begitu Yuta memanggilnya sambil menyikut pinggangnya.
"Apaansih anjing, ganggu lo!" umpat Joshua.
"Itu siapa?" tanya Yuta, matanya berbinar-binar penuh akan keterpesonaan tertuju pada seorang wanita yang melangkah melewati lorong sekolah pagi itu. Joshua menoleh, mengikuti arah pandang mata Yuta dan dalam sekejap turut terpesona, ia bahkan tak peduli kini permainan pada ponsel miliknya telah kalah.
"Buset seger bener!" celetuk Joshua.
"Itu siapa deh? Kok gue nggak pernah liat, kira-kira jomblo nggak ya?" timpal Oki yang juga turut menatap terpesona kepada perempuan itu.
Ketiganya segera tersadar begitu sebuah tumpukkan kertas ditepukkan kepada wajah masing-masing dari ketiga orang itu oleh Sonia yang kebetulan melangkah di belakang wanita tersebut.
"Anjir ganggu banget lo! Gamau kalah saing apa gimana?!" protes Oki.
"Nyet! Anjis masuk kelas kita nyet! Itu walinya siapa anjir!" seru Yuta heboh begitu menangkap wanita tersebut memasukki kelasnya.
"Itu mamanya si Abi, goblok!" sahut Sonia lengkap dengan kening yang mengkerut.
"Hah? Asli?" seru Oki tidak percaya.
"Kok muda banget anjir! Kakaknya kali!" timpal Yuta.
"Abi mah nggak punya teteh," balas Sonia, kini duduk turut bergabung dengan mereka. "Tapi emang Ateu Dina, mah awet muda banget sih."
"Oh iya ya lo sepupuan sama Abi, berarti mamanya Abi kakaknya Bu Dian?" tanya Joshua.
"Adeknya," jawab Sonia seadanya.
"Kok anak pertamanya gedean punya mamanya si Abi?" tanya Oki juga malah turut kepo. "Atau ibu lo dilangkahin?"
"Iya emang dilangkahin. Terus ibu gue juga kan ta'aruf, jadi abis nikah gamau dulu punya anak, pengen pacaran dulu katanya sih gitu. Makanya gue jauh banget umurnya sama Kak Esa," jawab Sonia.
"Tapi Ni, gue kok jarang banget ketemu sama mamanya si Abi ya? Nggak pernah malah kayaknya, emangnya selama ini mamanya Abi tinggalnya di mana?" tanya Yuta.
"Di Singapura, beliau wanita karier gitu."
"Oalah gitu," pungkas Yuta sambil ngangguk-ngangguk sok paham.
Sonia menghela napasnya kini terdiam sibuk dengan isi kepalanya. Dipikir-pikir, hidup Abian tidak mudah ya, sejak kecil ditinggal oleh kedua orang tuanya. Mamanya mau nikah lagi lalu setelahnya diberi kabar duka atas kepulangan papanya. Sekarang, dirinya sendiri yang sedang dalam kondisi antara hidup dan mati.
Gadis itu menoleh, segera tersadar dari lamunan singkatnya saat melihat ibunya dan Dina keluar dari dalam kelas, yang tak lama disusul oleh ibunya Jesya dengan abahnya Jusuf.
"Abi peringkat berapa teu?" tanya Sonia, lebih mementingkan peringkat Abian daripada dirinya sendiri.
"Alhamdulillah Nia, Abi peringkat ke satu," jawab Dina seadanya.
"Alhamdulillah...." sahut Sonia.
"Kamu nggak kepo sama peringkat kamu?" tanya bu Dian.
"Nggak. Paling nanti dibandimg-bandingin lagi sama orang lain," jawab Sonia menyindir keras ibunya yang kerap kali membanding-bandingkan nilainya dengan orang lain.
"Nggak lah Son, ibu bangga sama kamu," kata bu Dian. "Mau hadiah apa sebagai apresiasi kamu peringkat ke dua?"
Sonia mematung, lengkap dengan matanya yang melebar tak percaya. "Ih, ibu jangan bohong!" serunya masih tak percaya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Princess
De Todo"Our princess," begitu katanya abang. Tapi Jeje nggak pernah ngerasa diperlakukan seperti princess oleh ketiga kakak laki-lakinya. ⚠️⚠️⚠️ tw // abusive tw // mention of bullying tw // harsh word Copyright © 2021, faystark_