75. Robot

98 22 3
                                    

"Abang, ayo main sama Bian!"

Anak laki-laki berusia tiga tahun itu menekuk wajahnya. Menatap iri pada adik perempuannya yang kini sedang diasuh oleh kedua kakak laki-lakinya.

"Iih jangan ganggu ah! Abang lagi main tau!" gerutu Nathan membalas ucapan Abian si adik laki-lakinya.

"Kak Esa ayo main sama Bian...."

"Kak Esa harus jagain dulu adek, mamanya kan lagi masak," tolak si sulung, kini kembali mengajak bermain Jeje yang masih berusia satu tahun.

Kakang semakin melengkungkan bibirnya ke bawah, menatap mainan robot di tangannya, lalu segera melangkah dengan lesu menuju dapur.

"Kakang? Sayangnya mama kenapa? Kok cemberut?" tanya mama seraya berjongkok mensejajarkan tingginya dengan Abian.

"Mau main robot, mama ayo main robot sama Bian...."

Mama mengusap-usap lembut pipi Abi. "Mainnya bareng-bareng ya? Mama lagi masak dulu buat nanti malem, kakang mainnya sama Jeje dulu ya?" bujuk mama.

"Tapi kata mama, Jeje belum boleh main robot," cicit anak laki-laki itu amat pelan.

"Iya kan Jejenya masih kecil, nanti kalo kenapa-kenapa gimana? Sekarang mainnya boneka-boneka dulu aja ya? Sama abang-abang sana main baremg, seru loh!"

Abian menurut, melangkah dan ikut duduk di sana. Tapi para abangnya sibuk ngajak main Jeje, Abi kan juga pengen diajak main. Abi juga pengen diperhatiin.

Kenapa sih, sekarang pas udah punya adek, Abi jadi dicuekin? Abian sedih, gamau dicuekin.

Laki-laki itu kemudian melangkah, keluar tanpa diketahui orang rumah, dan bermain sendirian di teras rumah.

Tapi main sendiri itu nggak seru, Abi jadi lesu main robot-robotannya juga.

"Piuw-piuw!"

"Iih kamu awas jangan ngalangin! Nanti tembakannya nggak kena!"

"Piuw-piuw!"

Anak kecil itu sudah berusaha untuk membuat permainannya seru, tetapi tetap saja lama-lama juga jadi lesu tak bertenaga.

"Heii lagi apa nih sayang? Main robot-robotan ya? Mau mama temenin?" tanya mama setelah sejak tadi memperhatikan putranya dari arah pintu.

Abian mengangguk, walau kini kedua matanya sudah benar-benar membendung air mata.

"Mama yang mana robotnya?"

Abian tidak menjawab, kini mengusap sebelah matanya yang hampir meneteskan air mata. Berusaha ia mati-matian menahan tangisannya.

"Hey, are you okay?" tanya mama, yang ditanya mengangguk, tapi justru semakin tak kuasa menahan tangisannya. "Gapapa, kalo mau nangis, nangis aja."

Lalu tangisan Abian akhirnya pecah juga. Mama segera mendekat, memangku dan memeluk putranya itu seraya mengusap-usap punggungnya.

Tangisannya kedengeran nyesek banget, mama jadi nggak tega.

"I'm sorry... I'm sorry...." ucap mama seraya terus mengusap-usap punggung kecil putranya.

Setelah dirasa cukup tenang, mama sedikit melonggarkan pelukannya. Mengusap pipi Abian yang basah karena air mata, putranya sudah mulai berhenti menangis tapi sesenggukannya masih ada.

"Abi pengen main ya? Tapi dicuekin terus?" tanya mama yang dibalas anggukan oleh Abian. "Maafin mama ya... maafin mama, nanti kita main robot bareng-bareng oke? Tapi abis mama selesai masaknya ya? Nggak papa?"

Our PrincessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang