67. Mahesa

93 29 0
                                    

Abian mengulum bibirnya, berdiri canggung di depan pintu kamar Esa yang tertutup.

Tadi, Anya dan Esa sempat bertengkar hebat hingga berbicara dengan nada tinggi penuh emosi, Abian yang tak sengaja memperhatikan dan mendengarkan dari arah ruang keluarga sebenarnya tadi sedikit gemetar karena teringat orang tuanya dulu juga sering berantem seperti itu, tetapi pemuda itu mencoba memberanikan diri untuk melerai, baru saja Abian memasuki dapur, pertengkarannya selesai yang juga diakhiri dengan selesainya hubungan antara Esa dan Anya.

Sebenarnya, Abian sedikit turut bersedih dan kaget mengingat kembali sudah sepanjang apa hubungan antara Esa dan Anya, tetapi Abian juga tak ingin terlalu ikut campur.

"Masuk aja sih!"

Abian tersentak mendengar seruan Esa dari dalam kamar, sedikit terkejut karena Esa yang mengetahui keberadaan pemuda itu padahal pintu kamarnya tertutup rapat.

Si nomor tiga kemudian segera membuka pintu dan bergegas menghampiri Esa yang sedang merebahkan setengah tubuhnya di atas tempat tidur.

"Ka Esa, ih? Beneran putus? Ceunah ek nikah?" ujar Abian kini duduk di sisi Esa yang menutup kedua mata dengan lengannya.

"Teuing ah anying!" sahut Esa dengan suara bergetarnya.

"Kak atuh, perjuangin lah! Kakang udah nyampe dipukulin rampok buat jagain kalung yang buat Mbak Anya." Abian kini turut merebahkan tubuhnya. "Itu kalungnya juga dipilihin papa, masa mau nyerah sih? Udah delapan tahun lebih loh?"

"Atuh da! Nyeri hate!" gerutu Esa, kini mengangkat tangannya dari mata dan menunjukkan dirinya yang sejak tadi diam-diam menangis.

Bukan hanya karena membiarkan hubungannya dengan Anya putus sampai sana, tetapi juga karena papa dan mama. Rasanya Esa merasa bersalah karena tidak sempat membuat papa melihat putranya menikah, dan rasanya Esa tak rela jika nanti saat menikah, posisi papa digantikan oleh calon papa tirinya.

"Esa juga gamau putus sama Anya–"

"So am i."

"So am i-so am i! Diem dulu anjing, jangan motong!" protes Esa. "Tapi Esa capek kang, Anya nggak pernah berjuang buat hubungannya sama Esa. Dia malah ngikutin mulu keinginan bundanya buat nikah sama Mas Wiwi. Esa jadi ngerasa Anya justru malah makin majuin hubungannya sama Mas Wiwi daripada sama Esa."

"Emang Mbak Anya kenapa?"

"Dia nggak pernah bilang sama bundanya kalo dia serius sama Esa."

"Belum kali!" sahut Abian, kini menoleh ke arah Esa. "Terus, lo pernah dikenalin Mbak Anya nggak, ke orang tuanya?"

"Pernah, tapi responnya nggak enak. Abis itu, nggak pernah lagi deh."

"Hadeuh! Emang sih, respon mertua tuh kadang bikin minder. Tapi ya masa lo mau berhenti gitu aja sih? Buktiin dong sama bundanya Mbak Anya kalo lo tuh serius sama hubungannya dan Mbak Anya, buktiin kalo lo tuh siap menghidupi Mbak Anya, buktiin kalo lo tuh siap bikin Mbak Anya bahagia!" omel Abian, rada emosi juga karena ternyata Esa seciut ini.

"Elu ngomong gitu nggak ngerti sih gimana rasanya ditatap nggak enak sama calmer, lo mah enak camerya udah deket sama lo," balas Esa, kini tangisannya sudah berhenti walau begitu, sisa-sisa menangisnya masih ada.

"Iya, tapi camer gue kristen."

"Lah? Gue kira Bu Dian?"

"Bukan ih! Namanya Bunda Chrissy." Abian kini mengalihkan tatapannya ke arah langit-langit kamar, lalu tersenyum mengingat kembali bagaimana pertama kali ia bertemu dengan kedua orang tua Sherin.

Our PrincessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang