32. Anak Adopsi

162 32 11
                                    

Untuk menyaksikan kejadian gelut-gelutan yang dilakukan para abangnya itu sudah menjadi hal yang amat biasa bagi Jeje.

Dulu, saat masih kecil, Jeje pernah nangis parah nyampe susah berhenti karena menyaksikan para abangnya yang main gelut-gelutan, Jeje kecil mengira para abangnya berantem beneran.

Sampai usianya menginjak sepuluh tahun, barulah Jeje mengerti jika ternyata para abangnya hanya main-main saja.

Seperti saat ini, Jeje amat santai sekali menyaksikan Kak Esa, abang, dan kakang yang asik bermain gelut-gelutan di depannya. Gadis itu memperhatikan dengan ekspresi datar dan tangan yang mengusapi Tony si yang mendadak jadi anggota keluarga Kusmawan.

Abang kini menepi, berhenti mengikuti kegiatan gegelutan itu dan membiarkan kakang melawan Esa.

"Ayo, sini maju, suhu ga takut!" ucap kakang berlagak bak pegulat handal.

"Wah, kurang ajar!" balas Esa kemudian menyerang kakang.

Tapi kakang beneran jago, Esa langsung kalah dilempar ke bawah. Punggungnya terbentur lantai.

"Haha! Gue menang!" seru kakang jumawa tanpa sadar Esa beneran sakit punggungnya.

"Kang," panggil Esa.

Kakang menunduk, kemudian membelalak sadar. "Eh! Astaghfirullah!" serunya panik segera membantu Esa bangun.

"Punggung gue..." gumam Esa seraya memegangi punggungnya.

"Lo tuh makanya kalo udah tua, jangan sok-sokan ikut main gegelutan," celetuk Nathan kini menghampiri Eda dan mulai memijati punggungnya.

Kakang menggaruk kepalanya yang tak gatal, merasa bersalah tapi Esa ga nyalahin, jadi gimana ya.... malah bingung rasanya.

"Beli mie ayam gih, bang. Laper," ucap Esa.

Kakang makin bingung ini Esa tiba-tiba nyuruh beliin mie ayam, mana nyuruhnya ke Nathan lagi bukan ke kakang, padahal kakang yang abis ngelempar dia.

"Duitnya?" tanya Athan.

"Pake duit lo dulu," jawab Esa yang langsung mendapat decakan tak terima dari Nathan.

"Jeje mau ga?" tanya Nathan yang mendapat jawaban anggukan dari Jeje. "Kakang? Ah, lo mah ga usah lah!"

"Diskriminasi anjrit!"

Nathan tidak merespon lagi, kini langsung pergi ke luar rumah.

"Bahasanya ya... anjrit-anjritan padahal mantan santri," komentar Esa. "Sini lo, pijitin Esa."

"Kakang juga kepaksa dipesantrenin," kata kakang menurut menghampiri Esa dan mulai memijati punggungnya.

"Bu Dian juga kepaksa kang, soalnya ga ada yang ngurusin lo waktu itu," sahut Esa yang mendapat gelak tawa dari Jeje.

"Kasian banget dipesantrenin gara-gara nggak ada yang ngurus!" komentar Jeje lengkap dengan cekikikannya di akhir kalimat.

Tetapi memang faktanya begitu sih, makanya kakang mau aja dimasukin pesantren karena tidak mau menjadi beban. Sempat sakit hati karena merasa jadi anak buangan tapi tidak jadi karena setiap hari Jum'at Kak Esa sering jengukin dia.

Waktu itu memang keadaan para anak Kusmawan sedang ada pada masa krisis, krisis perhatian orang tua juga krisis ekonomi. Papa bekerja di Kalimantan, mama juga di Singapura, orangtuanya saat itu sudah berpisah. Ekonomi keduanya juga saat itu sedang tidak baik-baik saja, makanya dengan terpaksa memberhentikan mang Asep dan istrinya sebagai satpam rumah dan asisten rumah tangga.

Esa bahkan rela kuliah sambil kerja. Bu Dian beneran nggak sanggup ngurusin banyak anak karena anaknya aja udah ada tiga, ditambah Nathan yang waktu itu masih menginjak kelas sepuluh SMA dan Jeje yang masih kelas lima SD.

Our PrincessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang