47. Takdir yang Tidak Bisa Diubah

175 35 17
                                    

Nathan meneguk ludahnya getir dengan tatapan sendu tertuju pada Jesya yang kini sudah terlelap dalam tidurnya setelah diberi obat penenang.

Sebelah tangannya bergerak, mengusapi punggung tangan kanan Jesya. Tangan kiri Jesya di bungkus gif, tulangnya patah. Hidungnya memerah dan bulu matanya basah sisa-sisa menangis.

Tak lama, Esa, Jeje, Sonia, dan Bu Dian datang. Sonia tampak langsung menangis melihat Jesya. Baru tadi sore Jesya dibuat bahagia, sekarang sudah seperti ini saja.

"Abi mana?" tanya Sonia dengan suaranya yang bergetar.

"Nemenin ibunya Jesya, sama Jusuf," jawab Nathan juga dengan suaranya yang bergetar.

"Ibu ke sana dulu ya?" ucap bu Dian setelah sebelumnya mengusapi kepala Jesya. Perempuan itu kemudia segera melangkah untuk menemani ibunya Jesya.

Jeje kini mendekat, turut menatap sendu ke arah Jesya. Ia kini mengalihkan pandangannya pada Nathan yang matanya sudah memerah. Gadis itu menyimpan sebelah telapak tangannya pada bahu Nathan, lalu mengusapinya.

Baru kali ini Jeje melihat Nathan rapuh kembali setelah kepergian papa. Hatinya turut ngilu, tetapi menjadi lebih lagi begitu menatap Jesya. Jeje tak tahu apa yang sedang terjadi, tetapi Jeje tahu, jika Jesya lebih rapuh lagi.

"Jean...."

Nathan segera bangkit dari duduknya mendengar gumaman itu. Jesya mulai sadar, matanya perlahan terbuka, ia terbangun walau masih lemas.

"Jean... bang, Jean mana?" tanyanya setengah sadar. Ia bangkit dari posisi tidurnya yang segera dipeluk Nathan. "Jean...."

Jesya kembali terisak dalam pelukan Nathan. Pemuda itu mengusapi punggungnya, membiarkan Jesya menangis sepuasnya.

Membiarkan Jesya menunjukkan semua sisi rapuhnya.

♔♔♔

Pukul satu dini hari, Abian dan Sonia baru pulang ke rumah, rumah bu Dian.

Nathan, Abian, bu Dian, dan suami bu Dian masih di rumah sakit, menemani dan membantu segala urusan yang harus diurusi keluarganya Jesya. Abian dan Sonia disuruh pulang terlebih dahulu mengenakan motor Nathan, sementara itu Jeje sudah diantarkan pulang---ke rumah bu Dian juga---oleh Esa, tadi, saat jam menunjukkan pukul setengah sebelas.

Esa sengaja menyuruh Jeje dan Abi untuk menginap di rumah bu Dian karena masih parno jika harus meninggalkan dua adiknya itu di rumah mengingat malam ini mang Asep juga sedang di luar jam kerja.

"Jeje mana?" tanya Abi pelan pada Silvina yang membukakan pintu rumah.

"Di kamar Kak Nia," jawab Silvina, matanya kini tertuju pada wajah Sonia yang sembab. Matanya sedikit membengkak dengan ujung hidung yang memerah.

Abian turut mengikuti arah pandang Silvina, memperhatikan Sonia yang balas menatap kedua mata adiknya.

"Surya mana?" tanya Sonia dengan suara bergetarnya.

Silvina mendekat, segera memeluk Sonia yang sudah hendak menangis lagi. "Udah tidur di kamarnya kak, mau bobo sama Surya?"

Sonia menangguk. "Sama Silvina juga," lirih Sonia, suaranya serak karena menangis terlalu lama.

"Kasih minum, Sil," ujar Abi yang dibalas anggukkan oleh Silvina. "Abi ke kamar duluan ya?"

"Kang, mau minum juga?" tawar Silvina.

"Nanti ambil sendiri aja, gampang," balas Abi kemudian segera melengos menuju kamar Sonia.

Pemuda itu menghela napasnya berat, membuka kenop pintu dan mendapati Jeje yang masih terjaga di atas tempat tidur Sonia.

Our PrincessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang