"Ke mana aja baru pulang jam segini?"
Pertanyaan itu dengan cepat melunturkan senyuman yang semula Abian lukis. Pemuda itu berdehem canggung, menatap pada Esa yang menatapnya dingin.
Abian baru pulang setengah tujuh malam, masih dengan mengenakan seragam sekolahnya ia langsung disambut dengan wajah tidak mengenakan Esa.
"Pulang jam segini, nggak ngabarin Jeje, anaknya ditinggalin gitu aja!" Esa mengernyit, menatap Abian yang menunduk tanpa membalas ucapan-ucapannya. Napasnya memburu mulai tersulut emosi. "Lo bisu apa gimana sih? Gue tanya ke mana aja jam segini baru pulang?!"
"Main," jawab Abi seadanya.
Iya, pulang sekolah tadi Abian langsung ngajak Sherin main begitu mengetahui jika gadis itu ternyata salah paham. Lupa jika sekarang dirinya pulang pergi bersama Jeje.
"Gila lo ya? Lo nggak takut Jeje kenapa-napa?"
"Ya terus kenapa nggak lo aja yang jemput Jeje?" sahut Abi kini justru sama-sama tersulut emosi. "Kenapa apa-apa tuh harus Abi terus sih?"
"Elo yang punya tanggung jawabnya!"
"Abi juga punya urusan sendiri!"
"Sepenting apa sih urusan lo?" tanya Esa seraya mendekat dan menunjuk-nunjuk marah pada Abian, membuat pemuda itu tak lagi berani menyahuti. "Main sama presiden lo nyampe nggak bisa ngabarin Jeje? Lo punya rasa tanggung jawab nggak sih?!"
"Lo nggak usah ngatur gue!" sentak Abi kini menepis tangan Esa.
"Udah ngerasa bener lo ngomong gitu?!"
"Emang lo sendiri udah bener? Kemarin Jeje di-bully aja lo nggak tau kan?" Abi menarik tipis salah satu sudut bibirnya saat Esa tak menyahuti ucapannya. Lalu, entah bagaimana otaknya---yang mungkin sedang tidak waras---bekerja, pemuda itu kembali berucap. "Lo nggak usah ngatur, lo bukan papa!"
Abian melengos, segera melewati Esa yang kini sama tertawa sinis.
"Emang lo pernah nurutin papa? Lo pernah dengerin omongan papa?" ucap Esa sukses membuat Abi menghentikan langkahnya. "Bukannya selama ini lo yang selalu nyalahin papa? Kapan deh lo dengerin papa?"
"Kak Esa, udah," sela Nathan berusaha menghentikan ucapan Esa yang semakin sensitif untuk didengar.
Abi kini berbalik. "Iya emang Abi salah kok, tapi lo tetep nggak berhak ngatur-ngatur Abi!"
"Lo kalo nggak mau diatur, mending mati aja bangsat!"
"Kak Esa!" tegur Nathan lagi.
Sementara itu, Abi ditempatnya mematung terkejut. Pemuda itu meneguk ludahnya, seraya mengangguk-anggukan kepala. Dengan tanpa banyak bicara, ia segera melangkah menuju kamarnya.
Nathan menghela napas, menatap pada Esa yang mengusap wajahnya kasar.
Ia kemudian melangkah, segera menyusul Abian karena takut laki-laki itu melakukan sesuatu yang nggak-nggak. Kan nggak lucu kalo Abian beneran ngikutin apa katanya Esa.
"Abian?" panggil Nathan di depan pintu kamar Abi yang tertutup dan terdengar suara benturan-benturan pada pintu itu. "Bi? Abian?? Abi buka pintunya Bi."
Tetapi Abian tidak mendengarkan, terus membenturkan belakang kepalanya pada pintu yang menjadi sandarannya. Suara-suara 'berisik' itu kembali menghampiri telinga Abian, membuat kepalanya terasa pening. Belum lagi suara-suara Esa yang terus menghampiri kepalanya, membuat perasaan merasa bersalahnya kembali datang. Membuat segala penyesalannya kembali menghampiri. Membuat dadanya terasa sesak.
Abian rasa dirinya sudah tidak waras.
"Abian, ini abang," ucap Nathan kini terdengar sedikit lebih tenang. Membuat Abian menghentikan pergerakan kepalanya. "Bukain pintunya ya?"

KAMU SEDANG MEMBACA
Our Princess
Rastgele"Our princess," begitu katanya abang. Tapi Jeje nggak pernah ngerasa diperlakukan seperti princess oleh ketiga kakak laki-lakinya. ⚠️⚠️⚠️ tw // abusive tw // mention of bullying tw // harsh word Copyright © 2021, faystark_