1

937 37 0
                                    

Kini sudah waktunya berganti seragam, dari SMP ke SMA yang lebih bergengsi. Sudah cukup lama pemuda yang bernama Ardean Vildory itu menantikan hari ini. Hari di mana dia bukan lagi anak SMP, yang disebut oleh orang sekitarnya sebagai sekolah usia dini. Tentu saja Vildory menantikan hari ini, dia hanya ingin menunjukkan pada dunianya bahwa dia bukan anak-anak lagi.

Vildory yang baru saja ke luar dari kamar langsung disambut oleh kedua orang tuanya. Dengan sebuah seragam berbeda mereka pamerkan kepada Vildory. Tanpa diminta, alis Vildory mengerut dengan sendiri. Matanya menyiratkan tanya tentang seragam yang kedua orang tua itu pamerkan.

"Ayah sudah mendaftarkanmu ke akademi, jadi gantilah seragammu itu dengan yang ini!" perintah sang Ayah dengan menyerahkan seragam kepada Vinldory. Dia yang bernama Zhu Alaric itu berujar dengan datar.

Spontan Vildory mengambil seragam dengan celana selutut yang ayahnya sodorkan. Dilihat lebih teliti lagi, pakaian yang ada di tangannya kini tak terlihat seperti seragam sekolah. Baju lengan pendek dengan kelopak bergaya seperti dua lembar mahkota bunga mawar. Warnanya pun jauh berbeda dari seragam sekolah pada umumnya. Seragam dengan baju berwarna merah kehitaman dan celana selutut yang juga berwarna sama.

"Apa ini? Kenapa aku harus masuk ke akademi? Aku tidak mau, SMA yang aku pilih adalah SMA yang sedari dulu kuimpikan." tolak Vildory dengan menyerahkan kembali seragam merah itu ke tangan ayahnya.

Vildory menampakkan wajah kesal dan mengambil jalan di antara kedua orang tuanya untuk dia bisa pergi sekarang juga.

Belum juga dua langkah, tasnya terasa ditahan oleh seseorang di belakangnya. Mau tidak mau, Vildory menghentikan langkah dan berdecak kesal setelahnya. Bukannya Vildory tidak menghargai keputusan orang tuanya, tapi Vildory sudah pas dengan keinginannya.

Dia yang berparas wanita tampak berlutut secepatnya dan tidak melepaskan genggamannya pada tas milik Vildory. "Ibu mohon! Masuklah ke akademi itu ... tolong bawa dia kembali!" mohon wanita yang berperan sebagai ibunya Vildory, Zhu Inora namanya.

Terkadang, Vildory berpikir kalau dirinya hanyalah anak angkat, nama depannya yang berbedalah yang menjadi alasannya. Vildory yang katanya terlahir dari keluarga Zhu, justru diberi nama depan Ardean. Katanya, orang tuanya punya alasan dan Vildory bukan anak angkat. Alasan yang bahkan sampai sekarang Vildory tak tahu apa itu.

Vildory seketika hilang kata-kata, orang yang seharusnya dihormatinya justru berlutut memohon kepadanya. Vildory bukan anak durhaka yang akan mengabulkan keinginan orang tua dengan syarat berlutut padanya. Ditambah lagi, wanita itu sampai menangis memohon padanya yang membuat Vildory kebingungan sambil membulatkan mata. Ini pertama kalinya wanita itu memohon dengan seperti itu padanya.

Vildory langsung berjongkok dan menyamakan derajat dengan sang Ibu. "Ibu, apa yang Ibu lakukan? Jangan membuatku merasa bersalah seperti ini!" ujar Vildory dengan mengusap bahu Inora.

"Vildory, ibu mohon. Bawa dia kembali, tolonglah ...." mohon Inora sekali lagi.

"Apa? Siapa? Siapa yang harus kubawa kembali? Ibu, Ayah kalian membuatku bingung!" sahut Vildory dengan banyak pertanyaan di dalam benaknya.

"Kakakmu!" Alaric menjawab dengan linangan air mata yang mengalir begitu saja, "Bawa dia kembali, Vil! Hanya kau yang bisa melakukannya, tolong masuklah ke akademi." Pria itu ikut membungkuk dan menundukkan kepalanya meminta permohonan.

"Hah? Kakakku ...?"

Vildory semakin kebingungan kala mendengar permintaan ayahnya. Vildory pernah mendengar bahwa dia mempunyai seorang kakak, tapi Vildory baru tahu kalau kakaknya itu masih hidup. Pertanyaan semakin banyak mengisi benaknya. Jikalaupun orang tuanya menginginkan Vildory membawa dia kembali, lantas hubungan dengan dimasukkannya dia ke akademilah yang menjadi beban pertanyaan baginya.

Melihat wajah anaknya yang kebingungan, Alaric kembali bersuara, "Sekarang dia ditahan di akademi, dia pasti sangat menderita. Hanya kau yang bisa membebaskannya dari penderitaan itu, Vil," ungkap Alaric menjelaskan.

Vildory kemudian menatap Inora yang bahkan tak lagi ingin bersuara. Isakannya meraja di atas segalanya yang membuat kata-katanya hilang tertelan semua. Ini pertama kalinya Vildory melihat ibunya menangis demikian. Entah selama ini lukanya selalu Inora sembunyikan, atau entah Vildory sendiri yang kurang memperhatikan.

"Baiklah! Baiklah! Aku akan masuk ke akademi, tapi Ibu jangan menangis lagi!" bujuk Vildory agar Inora menghentikan tangisnya. Mendengar isakan tak henti-hentinya dari mulut sang Ibu membuat hati Vildory terasa menyesak.

Vildory mengambil segera seragam di tangan ayahnya. Matanya kembali menelusuri seragam tersebut. Seragam itu terlihat sangat kokoh dan pastinya berkualitas bagus. Lantas, melihat kelopak bajunya Vildory jadi berpikir kalau orang tuanya menginginkannya memasuki akademi kesenian. Vildory sampai berpikir kesenian seperti apa yang bisa dilakukannya. Sejauh ini, Vildory tak begitu tertarik dengan seni yang membuatnya ingin merengek meratapi nasib kedepannya.

Awalnya Vildory berpikir kalau kakaknya kini sedang dibawah pengasuhan orang lain. Kemudian orang tuanya mendapatkan informasi bahwa kakaknya itu akan dimasukkan ke akademi seni. Maka dari itu, orang tuanya ikut memasukkannya ke sana agar bisa saling bersua dan mengajaknya kembali ke keluarga aslinya. Tetapi, jika diingat lagi, Alaric tadi berkata bahwa kakaknya ditahan di sana.

"Eh? Tadi katanya kakakku ditahan di akademi? Apa maksudnya itu?" tanya Vildory memastikan pendengarannya tak salah tangkap.

"Kau pikir kau akan ayah masukkan ke akademi apa? Akademi sastra? Jangan salah, kau ayah masukkan ke akademi sihir dan kakakmu ditahan di akademi sana!" terang Alaric.

Vildory terdiam dan kemudian tertawa. "Ini bukan waktunya becanda, Ayah! Sihir? Sihir apanya? Memangnya di dunia ini orang masih mempercayai sihir? Ada-ada saja. Itu terdengar seperti dongeng yang selalu ibu ceritakan dulu, tapi aku sekarang sudah besar, Ayah. Dulu aku memang percaya dengan dongeng yang ibu ceritakan, tapi sekarang sudah tidak lagi," tutur Vildory masih lanjut dengan tawanya.

Kedua orang tuanya tampak memancarkan ekspresi serius yang membuat Vildory menghentikan tawa. Tak ada kata main-main dari pandangan keduanya. Inora pun sampai menghapus segera air mata untuk meyakinkan Vildory tentang apa yang Alaric katakan adalah nyata.

"I--ini ... sungguhan?" tanya Vildory gelagapan.

"Un! Dongeng yang kau dengar waktu kecil adalah kisah kami berdua! Anak mereka yang ditahan untuk menjaga supaya hal buruk tak terjadi, itulah kakakmu." Alaric kembali menjelaskan.

Ingatan Vildory dipaksa untuk mengingat kembali dongeng waktu kecil yang selalu Inora bacakan. Dongeng pengantar tidur yang selalu menjadi bayangan bagi Vildory ketika matanya dia pejamkan. Kisah pilu yang menceritakan dua orang murid akademi sihir yang melakukan kesalahan. Kesalahan berupa larangan di dalam akademi, yaitu saling menyimpan perasaan. Hingga mereka dihadiahkan seorang bayi yang seharusnya mendatangkan kebahagian. Namun, itu ternyata bukanlah kebahagian, tapi penderitaan. Karena pihak akademi mengambil anak mereka dan dijadikan tahanan. Dua pasang kekasih yang menjalin hubungan itu pun diusir dari akademi dan mendapatkan hukuman.

Semasa kecil, bagi Vildory itu hanyalah cerita karangan biasa yang tidak bisa Vildory simpulkan. Sekarang, Vildory baru bisa menyimpulkan bahwa hukuman yang sepasang kekasih itu jalani bukan karena pihak akademi yang terlalu kejam. Tetapi, mereka berdualah yang salah, berupa menjalin hubungan tanpa ikatan pernikahan. Bahkan, mereka sampai melahirkan seorang anak yang harus menjadi tahanan atas kesalahan yang orang tuanya lakukan.

"Apa-apaan ini? Apa yang telah kalian lakukan? Itu memalukan!" teriak Vildory tidak terima dengan kenyataan bahwa orang tuanya merupakan tokoh utama di dalam dongeng yang selalu ibunya ceritakan.

Entah kenapa, batinnya langsung mempercayai bahwa dongeng itu memanglah kisah orang tuanya. Padahal, Vildory sama sekali tak pernah mempercayai bahwa dunia sihir itu ada. Yang ada dalam benaknya sekarang ini hanyalah ketidakterimaan akan masa lalu yang dilakukan kedua orang tuanya. Bahkan, bagi Vildory itu terdengar menyakitkan, entah bagaimana pula yang kakaknya rasakan saat ini juga. Pastinya itu akan lebih menyakitkan dari apa yang kini Vildory rasa.

Bersambung...

Akademi Para PetarungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang