18

172 11 2
                                    

Selang beberapa waktu, Vildory masih berdiam di depan sel Valta. Hingga, Arnold sudah kembali ke sana dengan ukuran tubuh seperti biasa. Namun, langkahnya tampak lunglai, berjalan seolah dia baru saja menempuh jarak jauh. Tatapannya pun begitu, terlihat seakan tenaganya tak lagi tersisa.

Vildory mulai terlihat gagap dengan kehadiran Arnold karena dia tidak mengindahkan perintah Arnold untuk segera kembali ke kamar asrama. Padahal apa yang Arnold perintahkan adalah kebaikan untuknya dan jika saja Vildory tertangkap penjaga, Arnold tak akan apa-apa. Karena keras kepala, Vildory justru melanggarnya seakan dia punya alibi untuk lari.

"He--hei, Arnold. Kenapa kau lesuh begitu? Seperti kucing yang mau mati saja, haha!" ejek Vildory sedikit bercanda karena takut Arnold akan memarahinya, "Eng? Kudengar, kucing kalau mau mati pasti cari tempat yang jauh dari tuannya, tapi kau malah kembali ke tuanmu," sambung Vildory menganggap Valta adalah tuannya Arnold.

Tampak tak merespon, Arnold melewati Vildory begitu saja. Masuk ke selah-selah sel dan menuju Valta yang menunggunya dengan tangan terbuka. Tak ada yang bersuara termasuk Vildory yang akhirnya menyudahi canda. Tentu saja karena dia berpikir waktunya tak tepat untuk tertawa sementara yang lainnya tanpa suara.

"Aku membutuhkannya!" ucap Arnold pelan sambil meringkuk di pelukan Valta.

Kemudian, api biru itu menyala menerangi sedikit ruangan yang gelap hampir tak bercelah. Kalau hanya mengeluarkan sedikit kekuatannya, para penjaga tidak akan menyadarinya. Karena penjaga datang menenangkannya di saat kekuatan itu tak terkendali saja. Dari kedua telapak tangannya yang memeluk Arnold, cahaya biru itu berusaha menghangatkan kucing yang berada di sana. Sekali-kali terdengar Valta mengumpat kecil dengan pandangannya terus menatap Arnold yang meringkukkan tubuhnya sambil memejamkan mata.

"Arnold?!" panggil Valta dengan getaran pada suaranya, "Vil, dia tidak mendengkur," adu Valta kepadaVildory yang masih bingung dengan keadaan.

"Val, tenang saja. Aku hanya sedikit lelah, tak usah mencemaskanku," sela Arnold kala mendengar Valta yang bersuara dengan getaran yang kentara.

Vildory masih tidak mengerti apa yang terjadi, kata-kata yang sempat ke luar dari mulutnya pun ingin dia telan kembali. Berupa kata yang mengatakan Arnold seperti kucing yang mau mati. Dari sisi mana pun, hatinya tak pernah ingin itu terjadi. Vildory hanya niat bercanda, sungguh dia sama sekali tak punya niatan untuk menginginkan Arnold mati.

"Akan kubalas mereka! Akan kubalas!" tutur Valta dengan air mata mulai membanjiri pipi.

Ingin Vildory bertanya, siapa mereka yang Valta maksudkan. Namun, melihat kondisi Arnold yang sangat lemah, Vildory tak jadi menyuarakan pertanyaan. Vildory masih merasa bersalah atas olokan yang tadinya dia gemakan.

Perlahan, Arnold mulai mendengkur kecil, meski sesekali mulutnya itu mengeluhkan erangan. Seakan kucing itu memaksa untuk mendengkur agar Valta dan Vildory tidak pada posisi tengah mengkhawatirkan.

"Vildory, kembalilah ke bawah. Jangan sampai kau ketahuan naik ke sini." Akhirnya Arnold mengomentari kehadiran Vildory yang masih tetap di sini.

Tanpa banyak kata, Vildory menurutinya. Vildory tentu tak ingin menambah masalah karena Arnold tidak dalam kondisi bisa membantunya. Pertama kali menemui Valta, Arnold masih bisa membantunya karena keadaannya baik-baik saja. Berbeda dengan sekarang ini yang kondisinya jauh dari kata baik-baik saja.

"Kak, aku akan kembali lagi besok!" pamit Vildory dan pergi dengan hati-hati, takutnya ada penjaga yang melihatnya.

🔥🔥🔥

Vildory kini masih berdiam diri di kamar asrama, menunggu sebentar lagi untuk menuju ruang belajar. Sambil memastikan pula kalau alat belajarnya tidak ada yang tertinggal. Pintu asrama dia biarkan terbuka agar udara segar bisa masuk dengan leluasa. Juga karena jendela asrama yang tidak ada dan hanya ada satu pintu di setiap kamar asrama.

Akademi Para PetarungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang