7

196 22 2
                                    

Saat Vildory melangkah ke luar dari pintu yang sama dengan yang lainnya, dia kembali terkejut dengan apa yang dilihatnya. Gelap seperti malam hari, pepohonan rimbun mengeliligi. Anehnya lagi, tak ada orang lain di sana selain dirinya sendiri. Padahal Vildory yakin dia  tidak keluar dari pintu yang salah. Dingin aura sekitar terasa membuat Vildory merinding dengan sendirinya. Hanya ada kata-kata, 'Tombol merah untuk menyerah'.

Hingga detikan pada arloji di tangannya membuat Vildory hampir kehilangan jantung. Entah dari mana asalnya dan sejak kapan adanya, arloji itu sudah melingkar di pergelangan. Di sana, fungsi stopwach mulai menghitung mundur dari 5 jam dan sudah berjalan beberapa detik. Guna penentu waktu untuk sampai ke akademi nanti. Kalau saja stopwatch sudah menunjukkan angka 00.00.00, maka peserta dinyatan gugur dan akan dieksekusi setelahnya.

"Baiklah! Sepertinya ini adalah sihir, jadi sekarang aku harus berjuang sendirian menuju akademi!" monolog Vildory dan mulai melangkah.

Ketakutan sudah mati-matian ditelannya. Tekat Vildory sudah bulat untuk terus maju walaupun akan banyak rintangan menanti. Tujuannya harus tercapai tanpa ada kata menyerah dan semoga dia tak mengubah tujuan itu di tengah-tengah. Karena ini adalah ujian terakhir dan gagal di ujian akhir akan sangat menyakitkan daripada gagal di awal mula.

Belum ada lima menit berlalu, aura dingin yang semula Vildory rasa kini terasa lebih hangat. Seakan ada selimut tebal yang menimpanya, ditambah pula dengan pundaknya yang terasa berat. Penasaran, Vildory pun menelengkan kepala untuk memastikan sesuatu yang mungkin menimpa bahunya yang tiba-tiba berat. Langkah Vildory terhenti paksa, berikutnya Vildory langsung menjerit.

"Aaaaa, pergi dariku, Sialan!" teriak Vildory sambil mengibaskan bahunya.

Ada sesuatu yang menempel di sana dan itu baru pertama kali Vildory melihatnya. Makhluk hidup serupa ular dengan hanya memiliki satu mata di tengah-tengah. Ukurannya kisaran sebesar pangkal paha dan kulitnya terlihat seperti kulit kayu berwarna merah menyala. Tak hanya itu, ternyata makhluk itu sudah melilitkan ekornya ke punggung Vildory. Laki-laki itu hampir saja menangis dengan apa yang dilihatnya. Meski pun makhluk itu tak melakukan apa-apa dan hanya diam di bahu, tetap saja Vildory ketakutan melihatnya.

Tanpa berpikir, Vildory membenturkan punggungnya ke salah satu pohon yang berdiri di sana. Namun, bukannya pergi, makhluk itu justru terlihat baik-baik saja dan yang menjadi masalah adalah punggung Vildory sendiri yang terasa hampir patah. Bahkan, Vildory tak berani menyentuhnya karena dilihat dari sisi mana pun juga, makhluk itu terlihat berbahaya.

Setelah agak lama bersama makhluk mengerikan itu, Vildory tidak punya pilihan lain selain menyentuhnya. Menyingkirkannya dengan kedua tangan mungkin akan lebih berguna. Meskipun bergetar, Vildory tetap mengangkat tangannya dan berniat menangkap makhluk aneh itu dan segera menyingkirkannya. Di luar dari dugaan, baru saja Vildory ingin menangkapnya, makhluk itu sudah hilang entah kemana. Padahal Vildory yakin tadi dia belum sempat menyentuhnya.

"Aku ingin pulang saja!" monolog Vildory dengan berusaha menghentikan getaran kaki dan juga tangannya.

Udara dingin kembali terasa menusuk sampai ke tulang. Di sana, Vildory masih saja berdiri mematung. Ketakutannya masih ada, meski makhluk itu sudah tak lagi menunjukkan keberadaan. Rasanya, Vildory tak pernah setakut ini sebelumnya dan tak bisa dibayangkan akan seperti apa hidup di akademi nantinya. Ini masih dalam masa ujian dan apa yang Vildory temukan sudah sangat menakutkan. Belum lagi musuh nantinya yang mungkin saja akan lebih menakutkan dari yang tadi.

Sedikit tenang setelah agak lama melupa kejadian sebelumnya, grasak-grusuk pada semak-semak membuat Vildory kembali ketakutan. Vildory tidak ingin melihatnya, tapi kepalanya tertoleh sendiri ke belakang sana. Peluh dingin itu sudah membasahi pelipis dan Vildory tidak punya tenaga untuk menghapusnya.

Akademi Para PetarungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang