57 - Tasya

59 2 0
                                    

Happy Reading💙

.

.

.

Brukkk!

Altara melihat Cindy mendorong pintu rumah Tasya dengan tidak sabaran. Dia masih tidak mengerti kenapa Cindy mendatangi rumah Tasya dan meminta dirinya ikut. Selama di perjalanan, Cindy hanya menyuruhnya diam, Cindy sangat khawatir akan sesuatu.

"Tante, Aca di mana?" tanya Cindy kepada Laras ketika mereka bertemu di ruang tamu.

"Didi," ucap Laras sambil terisak. "Dia ada di kamarnya, sekarang masih diperiksa sama dokter. Tante takut banget kalo dia kenapa-kenapa lagi."

Cindy memeluk Laras dan menenangkannya. "Tante tenang, ya. Semoga Aca gapapa, pasti Aca gapapa."

"Ini maksudnya ada apa, sih, Di?!" tanya Altara dengan sedikit berteriak. "Aca kenapa? Dia kenapa sampe harus diperiksa sama dokter?"

Belum sempat Cindy menjawab, seseorang sudah berdiri di ambang pintu dengan raut wajah khawatir sama seperti dirinya tadi.

Altara menoleh ke arah pintu. "Anna? Lo di sini juga?" tanya Altara makin kebingungan.

Laras melepaskan pelukan Cindy, lalu Anna buru-buru berjalan ke arah mereka. "Tante, Aca kenapa?"

Laras menggelengkan kepalanya. "Tante juga gak tau, dia tiba-tiba mimisan dan pingsan setelah nganter Tante belanja. Apa gara-gara Tante dia jadi sakit, padahal sebelum-sebelumnya dia udah gak pernah kayak gini lagi," ucap Laras sambil menahan air matanya.

"Hah? Aca pingsan, Tante? Kok bisa?" tanya Altara mulai khawatir. Tanpa menunggu jawaban dari Laras, dia menarik lengan Cindy untuk keluar. "Di, Aca emang sakit apa, sih?! Kok gue gak tau kalo dia lagi sakit?"

.

.

"Dok, gimana keadaan Tasya?" tanya Laras ketika melihat dokter yang menangani Tasya sudah keluar dari kamar anaknya.

"Alhamdulillah Tasya sudah siuman, tapi sepertinya dekat-dekat ini kondisi Tasya akan memburuk jika tidak dibawa ke rumah sakit untuk pengobatan lanjutan. Jadi, saya sarankan agar Tasya segera dibawa ke rumah sakit," ucap sang dokter.

Laras mengangguk, "Baik, Dokter. Saya dan suami akan segera mengurus itu. Sebelumnya terima kasih Dokter sudah meluangkan waktu untuk ke rumah kami."

"Sama-sama, itu sudah kewajiban saya sebagai dokter. Semoga Tasya lekas sehat kembali. Oh iya, saya pamit, ya, Bu."

"Aamiin. Baik, Dok, saya antar ke depan," ucap Laras.

"Terima kasih, Dokter," sambung Altara, Anna, dan Cindy.

Selagi Laras mengantar dokter, mereka bertiga memasuki kamar Tasya. Anna dan Cindy langsung memeluk Tasya sembari mengusap punggung gadis itu.

"Ya ampun, kalian kenapa, sih?" tanya Tasya cekikikan.

"Kita gapapa, lo yang kenapa? Bikin khawatir tau!" balas Cindy.

Tasya melepaskan pelukan mereka dan melihat wajah kedua sahabatnya, "Gue gapapa, kok."

"Gapapa gimana lo sampe pingsan gitu?!" tanya Anna kesal.

"Jangan lebay, deh!" kata Altara yang langsung menimpali ucapan Anna. Altara mendekat ke arah Tasya dengan senyuman yang menghiasi wajah tampannya. "Lo berdua keluar dulu boleh gak?"

Anna melebarkan matanya, "Mau ngapain? Gue masih pengen mastiin kalo Tasya gapapa."

"Sshh udah gapapa. Ayo!" ajak Cindy.

"Tapi--"

Cindy menarik lengan Anna. "Percaya sama gue kalo Tasya udah gapapa."

Saat Cindy ingin menutup pintu kamar Tasya, Altara mencegahnya. "Jangan ditutup, takut gue khilaf."

Setelah Cindy dan Anna turun ke ruang tamu, Altara mendekat ke arah Tasya lagi dan membenarkan selimut yang dipakai gadisnya itu.

"Kamu udah makan?" tanya Altara dengan lembut.

Tasya menggeleng, dia belum sempat makan.

"Ya udah, aku ambil makan dulu, ya." Altara bangkit dari duduknya tetapi lengannya ditahan oleh Tasya. "Kenapa?"

"Makannya nanti dulu, ya? Aku mau ngobrol sama kamu."

Altara kembali duduk.

"Kamu udah tau aku... sakit?" tanya Tasya hati-hati.

Altara mengangguk. "Barusan, Cindy yang ngasih tau."

"Nggak marah?"

"Kenapa marah? Itu hak kamu, kok, untuk bilang atau nggaknya. Aku cuma ngerasa gak berguna aja jadi pacar, nggak ada di samping kamu saat sakit."

Tasya tertegun dengan ucapan Altara, sangat tulus. "Makasih udah baik sama aku. Kamu itu pacar aku yang baik dan hebat."

Altara hanya tersenyum. "Sekarang makan, ya?"

"Bentar dulu," cegah Tasya. "Kamu udah tau belum aku sama Cindy sepupuan?"

Altara terkejut, sangat terkejut, menandakan dia belum mengetahui tentang hal itu.

"Cindy itu adik sepupu aku, kita lahir beda 10 menit. Mungkin kamu udah tau kalo dia selama ini kesepian. Jadi aku sama dia deket banget udah kayak saudara kandung. Aku sayang banget sama dia makanya aku gak mau kalo kamu jahatin dia."

Altara tiba-tiba terpikir sesuatu. "Tapi kenapa di sekolah dia jahatin kamu? Aku masih gak habis pikir, sih."

"Nggak tau, dan gak mau tau juga. Yang penting kan dia udah baik lagi sama aku."

"Beneran udah gak pernah jahatin kamu lagi?" tanya Altara memastikan.

Tasya mengangguk. "Setelah kamu ceramahin dia kayaknya, hahaha."

Altara menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, "Maaf."

"Aku punya permintaan lagi," ucap Tasya.

"Apa tuan putri?"

Tasya memegang erat tangan Altara dan menatap mata hitam lelaki itu. "Kalo misalnya aku udah nggak ada--"

"Heh gak boleh ngomong gitu!" bentak Altara.

"Sshh, dengerin dulu."

Altara mengalah.

"Kalo aku udah nggak ada. Kamu yang temenin Cindy, ya? Kasian dia."

"Terus kamu gak kasian sama aku?" tanya Altara sedih.

Tasya menggeleng. "Sedikit, soalnya kamu banyak temen dan keluarga kamu pun supportif banget ke kamu. Kalo Cindy, aku tau banget kayak gimana lingkungannya. Sampe salah gaul kan kemarin. Intinya, temenin dia, ya?"

"Aku gak bisa janji, Ca. Tapi aku percaya kamu bisa nemenin Cindy tanpa perlu bantuan aku. Kuat, ya? Kamu bisa sembuh." Altara memeluk gadis itu, memberikan energi positif melalui pelukannya.

Tok tok!

Altara melepaskan pelukannya lalu menoleh ke arah pintu.

"Sorry kalo gue ganggu, gue cuma bawain makan buat Tasya." Anna memberikan semangkuk bubur dan segelas air putih kepada Altara.

"Nggak ganggu, Na," ucap Tasya. "Sini duduk."

"Gue balik dulu, ya, sama Cindy. Mau ambil baju. Boleh kan kita berdua nginep?"

Tasya mengangguk senang. "Boleh, lah! Pintu gue selalu terbuka buat kalian."

"Aaa thank you!" Anna memeluk Tasya. "Jagain Tasya lo sampe gue balik ke sini," ucap Anna kepada Altara.

"Lo gak suruh juga pasti gue jagain. Pacar gue!" Altara menatap Tasya. "Ya, kan, Sayang?"

"Bucin! Enyah lo!!” kata Anna.

Tasya hanya tertawa kecil.

.

.

ALTARA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang