72 - Rindu Tasya

104 3 0
                                    

Jam masih menunjukkan pukul 1 siang dan Cindy sudah sampai di rumahnya. Akibat pertengkaran di taman belakang sekolah tadi dia jadi tidak mood belajar. Alhasil Cindy pulang lebih awal dengan alasan sakit.

Saat ini Cindy sedang duduk di atas kasur seraya pipinya dikompres dan diberi salep oleh Bi Inem. Cindy hanya meringis tiap kali pipinya berdenyut sakit. Bi Inem bertanya alasan dia bisa terluka dan Cindy hanya menjawab tidak sengaja kena tonjokan Altara.

"Lain kali hati-hati ya, Neng. Bibi khawatir kalo Neng kenapa-kenapa," ujar Bi Inem ketika hendak keluar dari kamar Cindy karena sudah selesai mengobati pipinya.

"Siap laksanakan, Bi, hehe." Cindy tertawa kecil menanggapi nasehat dari wanita itu.

.

.

Masih di taman belakang sekolah, Altara sedang duduk di kursi yang disediakan sambil meringis karena pipinya tidak sengaja terpegang. Raffa yang berdiri bisa mendengar ringisan dari sepupunya itu. Sepupu yang kerjaannya berantem dan tidak akur.

Awalnya ketika Cindy pergi mereka akan baku hantam lagi karena masih ada gejolak marah di hati masing-masing. Namun ntah kenapa mereka malah kepikiran ancaman Cindy. Jadi mereka tidak  berani lagi berantem.

"Sorry," kata Raffa ketika mendengar ringisan Altara yang kesekian kalinya.

"Eh?" Altara kaget, tidak menyangka Raffa akan duluan meminta maaf. Padahal Altara juga salah. "Gue juga."

Tiba-tiba suasana menjadi canggung bagi keduanya. Altara berdeham, "Gue duluan, mau ke UKS."

Altara berjalan menjauhi Raffa, dia merutuki dirinya sendiri karena merasa aneh dengan sikapnya yang tiba-tiba berpamitan.

.

.

Dari kamar Cindy, terdengar suara tangisan yang teredam. Gadis itu menangis setelah Bi Inem keluar dari kamarnya. Cindy sangat merindukan sepupunya, dia ingin ada Tasya di sampingnya. Cindy berpikir jika masih ada Tasya mungkin Altara tidak akan bersikap seperti tadi, Altara tidak akan berubah menjadi kasar dan Cindy pun tidak akan merasa tambah kesepian seperti ini. Jujur dia ingin pelukan kedua orang tuanya. Dia ingin dibisikkan ucapan-ucapan yang menenangkan. Sungguh Cindy membutuhkan itu.

Cindy masih kecewa dengan dirinya sendiri. Apa Tasya sakit karena diganggu dia dan teman-temannya? Apa Tasya meninggal karena dia mendonorkan sumsum tulangnya? Cindy frustrasi. Jika dia tidak melakukan kedua hal itu, apa Tasya masih hidup hari ini? Apa hari ini akan lebih baik?

Senyuman miris tergambar di wajah gadis itu. Cindy sudah gila. Bisa-bisanya dia menyalahkan takdir. Sekalipun memang kesalahannya, lalu apa yang bisa dia perbaiki di masa lalu? Tidak ada. Cindy mengusap air matanya yang sedari tadi mengalir lalu membasuh mukanya di wastafel.

Cindy mengambil ponsel dan masker sebelum keluar dari kamar. Dia meminta kunci mobil kepada Mang Jey. Siang ini Cindy perlu bertemu Tasya.

"Nggak mau dianter aja, Neng?" tanya Mang Jey yang terlihat khawatir dengan kondisi gadis itu.

"Nggak usah, Mang."

Cindy pamit setelah meminum susu cokelat buatan Bi Inem tadi. Sebetulnya Bi Inem juga membuatkan makan siang tetapi Cindy tidak ada waktu untuk makan sekarang, jadi dia hanya meminum susu saja.

Sesampainya di tempat pemakamam. Cindy hanya melihat petugas kebersihan makam. Di tempat itu terasa sangat sepi, tidak seperti pertama kalinya dia kesana.

"Assalamu'alaikum, Aca," sapa Cindy seraya duduk di tanah dan memegangi nisan sepupunya. "Apa kabar?"

Beberapa saat suasananya menjadi hening.

"Lo gak jawab salam gue? Wajib tau." Cindy tersenyum miris karena Tasya tidak bisa menjawabnya.

"Ca, disana lo bahagia gak?" tanya Cindy seraya mengusap nisan tersebut. "Makasih ya udah bertahan sejauh ini. Gue yakin lo udah gak ngerasa sakit lagi. Maaf kalo gue ternyata penyebab kepergian lo."

Cindy menghela napasnya, "Ca, Altara berubah. Baru beberapa hari lo pergi, gue ngerasa dia udah kehilangan jati dirinya. Lo liat gak dari atas sana? Apa yang harus gue lakuin, Ca? Apa yang biasanya lo lakuin kalo Altara lagi kacau gini?" Cindy memeluk nisan milik Tasya. "Gue gak yakin bisa jagain Altara, Ca. Gue gak yakin bisa lakuin apa yang lo tulis di surat. Altara cuma pengen lo ada disini. Gue gak bisa gantiin lo buat jagain Altara, gak akan pernah bisa."

Air mata mengalir lagi di pipinya. "Ca, gue kesepian. Bukan cuma Altara yang kehilangan. Gue juga, Ca. Gue sebel sama Altara, dia bersikap seenaknya aja masih banyak orang yang dukung dia. Lah gue, Ca? Kalo gue bersikap seenaknya, apa gue masih ditemenin sama mereka? Apa Bunda sama Ayah gak akan marah? Gue sebel. Gue sendirian. Gue gak punya siapa-siapa disini selain lo."

Isakan semakin terdengar dari gadis yang sedang menangis itu. "Ca, Anna baik sama gue. Tapi di saat-saat tertentu dia bisa jadi dingin dan males bertemen sama gue. Itu karena gue pernah nyakitin lo. Dia masih nyimpen perasaan keselnya sama gue, Ca. Gue butuh lo. Hiks, hiks."

"Maaf, gue jadi ngeluh sama lo. Bahagia disana ya, Ca. Jangan lupain gue." Cindy menghapus air matanya. "Cuacanya tiba-tiba mendung deh? Lo lagi murung? Maaf ya."

Awan-awan berjalan dengan perlahan di langit, seraya membawa air di dalamnya. Sebelum hujan turun, Cindy memutuskan untuk pulang.

"Gue pamit ya. Sampai ketemu lagi, Sepupu cantikku."

.

.

Pukul 4 sore, Cindy mendengar suara motor Altara dari kamarnya. Lelaki itu sudah pulang sekolah. Cindy tidak menghiraukannya lagi, dia melanjutkan film yang sedang ditontonnya.

Di rumah Altara. Marisa melihat putranya masuk dengan memar di wajahnya. Tentu menyita perhatian wanita yang sedang menonton TV itu.

"Al pulang," kata Altara.

Marisa menghampiri putranya, "Ini mukanya kenapa?"

"Gapapa." Altara salim lalu berjalan ke kamarnya.

"Cepet mandi, nanti Bunda obatin!" teriak Marisa ketika punggung Altara semakin menghilang.

.

.

Keesokan harinya, hari Rabu. Cindy masih berbaring di atas kasurnya. Dia melihat jam sudah menunjukkan pukul setengah 7 tetapi dia belum mandi dan bersiap. Setelah 5 menit berdiam, Cindy memutuskan tidak sekolah dengan alasan masih sakit. Memang benar, pipinya yang masih memar sering berdenyut sakit. Lagipula di kelasnya sering ada jam kosong, jadi tidak akan tertinggal pelajaran juga jika tidak sekolah.

Sementara, Altara turun dari kamarnya dan menghampiri meja makan untuk sarapan bersama. Marisa melihat seragam Altara yang tidak rapi seperti biasanya tetapi dia memilih diam saja. Mereka saling sarapan dengan tenang hingga selesai.

"Al, tumben Didi belum nyamper kamu? Nggak bareng?" tanya Rizal yang belum melihat batang hidung Cindy disana.

Altara menggeleng, "Nggak tau."

Rizal dan Shakila berangkat ketika waktu hampir menunjukkan pukul 7 pagi. Sedangkan Altara masih terduduk diam di sofa ruang tamu.

"Loh belum berangkat?" tanya Marisa yang baru selesai mencuci piring bekas sarapan.

Altara bertanya dengan datar, "Al boleh bolos gak?"

Tentu Marisa langsung membantahnya. Bundanya Altara itu tidak pernah menyetujui anaknya bolos sekolah, apalagi hampir mendekati ujian. "Udah sana berangkat. Udah telat tuh."

Altara pamit lalu pergi ke sekolah.

.

.

TO BE CONTINUED.

Halo halo haaii, makasih banyak yang udah baca cerita aku.
Jangan lupa vote dan komen yaa.
Tunggu part selanjutnya🦋🦋

.

ALTARA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang