4 | Jona Claresta - Sisi Lain

34 6 0
                                    

Jalanan ramai memang sesuatu yang buruk.

"Saya mohon maaf karena buru-buru. Anak saya sedang dirawat di rumah sakit karena baru saja kecelakaan." Wanita berusia sekitar 40-an tahun itu memegang tanganku dengan wajah memelas.

Ibu itu hendak mengeluarkan uang dari sakunya, tetapi kutahan. "Nggak apa-apa, kok, Bu. Saya nggak kenapa-napa, cuma oleng aja tadi. Terima kasih sudah mencemaskan saya."

Motor yang dikendarai ibu-ibu menyerempet tubuhku. Lenganku yang memakai blazer aman meskipun seperti sedikit lecet. Tidak terlalu sakit memang, tetapi cukup membuat senam jantung di pagi-pagi seperti ini. Haidan dan Valya menatapku dengan wajah cemas. Aku langsung meyakinkan mereka kalau aku baik-baik saja. "Nggak apa, kok, cuma kena lengan. Sama sekali nggak sakit."

Tiba-tiba pandangan Valya kosong dengan wajah memucat.

Bagi seseorang yang mempunyai trauma masa lalu tentang kecelakaan seperti Valya ini, melihat kejadiannya secara langsung bisa membangkitkan bayangan-bayangan seram.

Haidan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Pandangannya beralih ke kaki Valya yang gelisah dengan pandangan ke sana kemari. Seperti berusaha menghindari menatap kendaraan yang melaju di jalanan itu.

"Kecelakaan waktu itulah yang buat gue jadi trauma. Ngelihat banyak kendaraan seperti ini kayak mending nggak lihat dan nggak dengar." Kakinya masih bergerak-gerak menggesek-gesek tanah.

Aku berinisiatif memegang tangan gadis itu untuk meredakan rasa takutnya. Tangannya sangat dingin dan berkeringat.

"Maaf, ya, kita nggak tau tentang itu. Tau gitu kita ajak anak lain aja," ucap Haidan. Ia membelakangi jalanan, menatap Valya teduh. Membuatku sedikit iri.

"Mama sama papa meninggal gara-gara kecelakaan waktu gue masih kelas satu SD. Rasanya tiap waktu keingat itu." Menghela napas, Valya melanjutkan sembari menyeka air mata. "Hah, menyedihkan banget, ya. Cengeng amat sampe nangis begini."

Tidak ada nada bercanda atau wajah jail seperti biasanya. Kami menyaksikan sisi rapuh dari sosok yang biasanya selalu cerewet itu. Sisi yang selama ini ia sembunyikan dengan topeng senyum.

Haidan yang tidak biasanya memandang Valya serius, kini ia fokus memerhatikan.

"Gue takut." Valya berucap pelan. Ia memanfaatkan keadaan dengan bersembunyi di balik tubuh Haidan sembari memegangi seragam laki-laki itu.

"Lanjut atau balik kelas aja, nih?" tanya Haidan. Sebagai seorang ketua OSIS yang ramah, ia selalu mendahulukan kepentingan orang lain. Itulah yang membuatku sangat suka dengan laki-laki berkharisma ini.

Di pinggir jalan yang lumayan ramai itu, kami bertiga masih berdiri memandangi kendaraan yang berlalu-lalang. Seperti tidak ada habisnya, sampai Valya dan Haidan menghela napas bersamaan.

Ini semua karena tugas dari Bu Henny, guru mata pelajaran sosial. Beliau meminta aku, Valya, dan Haidan untuk mengamati kegiatan di pasar tradisional yang berada di depan sekolah kami.

***

day 4 : Buat fictogemino dengan tema kecelakaan.

.
.

Kemarin aku udah selesai ngetik, tinggal up, eh ketiduran. Akhirnya, bolong sehari, deh. Huhu, siap-siap dapat hukuman ga nih :((

oh, iya, karena cerita di atas merupakan fictogemino, coba baca dari bawah ke atas, apakah nyambung?

Sankyu, pai pai~

04 Februari 2022.

Coffee Time [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang