Hari ini langit biru tanpa awan sama sekali. Apakah akan turun hujan secara tiba-tiba seperti hari itu? Tetap saja aku harus mencuci baju di hari Minggu. Padahal hari ini seharusnya aku nikmati dengan tidur seharian, tetapi aku belum cuci baju dua minggu.
Mau tidak mau aku harus memegang air yang sedingin salju kutub Utara—tidak selebay itu. Tentu saja karena mereka tidak mengizinkanku menggunakan mesin cuci, harus kucuci sendiri dengan tangan. Tidak masalah, sih, tidak akan membuat tanganku patah.
Jangan salah, aku kalau ada niat mencuci baju, setengah jam kelar, bersih semua. Jadi, aku harus mengumpukan niat sampai jam 10 pagi. Setelah sarapan dengan malas, hanya makan satu lembar roti tawar dan air putih seteguk.
"Oi, Val!"
Panggilan itu aku dengar saat kakiku hendak menginjak ambang pintu. Siapa lagi kalau bukan si berisik Rei?
Laki-laki itu memanggil dari balkon rumahnya dengan muka bantal sehabis bangun tidur. Ia menguap sebentar, lalu melemparkan hoodie hitam kesayangannya ke balkon kamarku.
"Apa lo?" tanyaku tidak ramah, bintang satu.
"Gue males nyuci tangan."
Hah? Apa pula gerangan bocah satu ini? Lebih tidak ramah karena tidak jelas.
"Maksud lo apaan?" Aku berjalan menghampiri doi, lalu mengambil hoodie-nya. Hoodie yang bisa jadi dicuci satu tahun sekali karena aku tidak pernah lihat doi pakai hoodie lain selain ini.
Eh, atau doi punya lebih dari satu? Gambarnya kecil di depan agak tidak mirip, sih, setelah aku perhatikan benar-benar.
"Pewangi lo waktu itu harum," imbuhnya semakin tidak jelas.
Kali ini, tanganku berkacak di pinggang. "Jadi, maksud lo, lo minta tolong ke gue buat nyuciin hoodie ini pake pewangi yang waktu itu?"
Oh, jadi ini orang satu selain malas nyuci malas jelasin juga? Memang wibu aneh.
Waktu itu setelah hujan-hujanan dan Rei memberikan hoodie-nya padaku, aku mencucinya dengan pewangi seabrek makanya harum.
"Buruan mumpung lagi panas biar cepet kering!"
Makin-makin saja ini, sok jadi majikan. "Lah, lo, kan, punya mesin cuci, bangsul! Ngapain susah-susah coba? Tinggal tanya aja merk Downy yang mana ke gue."
"Ribet."
Mataku melotot kesal. Kalau doi ada di depanku, sih, sudah aku dorong dari lantai dua ini. "Ya udah, lima puluh ribu."
"Berisik."
Tiba-tiba terdengar suara harmonika dari kejauhan. Seseorang seperti sedang memainkannya dengan berjalan karena suaranya semakin mendekat.
Aku masih berdiri di dekat pembatas balkon sementara Rei sudah masuk ke kamar. Menikmati angin yang berembus membawa ketenangan di pagi hari yang cerah ini. Suara harmonika yang merdu itu seolah membawaku kepada perasaan sedih dan sakit. Mengingat semua orang telah tiada. Tersisa aku sendiri bersama kepedihan itu.
Yah, mau tidak mau harus mencucikan jaket si wibu itu. Sudah telanjur aku pegang, sih.
Beberapa saat kemudian, setelah aku masuk, terdengar suara ada tamu ke rumah. Jarang sekali.
"Tumben namu. Kek gada kerjaan aja namu ke sini," gumamku.
Kuintip dari jendela balkon, seorang perempuan cantik. Tunggu, penasaran juga. Aku turun ke lantai satu, tetapi sudah ada Zia di sana.
"Buruan, dong, rumahnya Rei sebelah itu, 'kan? Coba lo panggilin. Kamar kalian deketan, dong? Aaaa ... enaknya ...."
Heh? Itu, kan, si teman kelas Rei yang kemarin mentraktir Haidan sama Rei?
Oh, rupanya begitu. Aku manggut-manggut dengan ide cemerlang di kepala.
*****
26-02-24.
Day 26: Buatlah cerita yang mengandung 3 kata ini: Biru, Harmonika, Jendela. Minimal 500 kata. Kata harus ditulis secara berurutan dari Biru-Harmonika-Jendela.
Contoh: Langit hari ini berwarna biru. Aku mengambil harmonikaku dan memainkannya di dekat jendela.
519 words.
Ugh, setelah sekian lama nulis ga nyampe 500 w. Rasanya lega bgt. Pengen bisa nulis tiap hari lagi. Mau ikutan marathon nulis tapi pegang HP dibatasi :)) mampus dah :))
KAMU SEDANG MEMBACA
Coffee Time [END]
RandomCoffee is always a good idea. Kehidupan random dari empat orang tokoh utama yang memiliki sifat berbeda dan secara kebetulan terhubung. "Ngopi dulu aja sini." #DWC NPC 2022 #DWC NPC 2023 #DWC NPC 2024 Copyright 2022 @Julysevi