11 | Valya Cornelly - Aku Dulu

1 0 0
                                    

Melihat berita mengenai bencana tsunami yang melanda salah satu kota di Indonesia membuatku terpaku beberapa saat. Televisi menayangkan berita itu beserta video saat air menjulang tinggi mengempas seluruh yang berada di bibir pantai dan sekitarnya.

Video tersebut diambil dari CCTV mercusuar yang tidak jauh dari sana. Seluruhnya luluh lantak tidak bersisa. Orang-orang yang sedang beraktivitas di sana terseret ombak, tidak hanya puluhan, sepertinya sampai ratusan orang. Saat itu memang sedang musim liburan dan pantai tersebut yang biasa dikunjungi wisatawan.

Sebagai bentuk kepedulian sosial, sekolah kami mengadakan kunjungan ke sana untuk memberi bantuan.

Sebenarnya, kunjungan ini adalah hasil dari rundingan OSIS. Aku bukan anggota OSIS, tetapi berinisiatif ikut Rei karena merasa penasaran. Memaksa ikut, sih.

Awalnya memang penasaran. Hingga akhirnya aku menyadari sesuatu yang sangat besar.

"Lo kalau cuma mau nangis jangan ikut tadi, mah," ujar Rei dengan nada kesal.

Aku duduk menjauh dari tenda-tenda pengungsian. Mataku sudah sembap sampai memerah. Hal itu menyita perhatian Rei sehingga dia datang bertanya.

"Rei, gue masih beruntung. Setelah ditinggal pergi kedua orang tua gue, ada saudara-saudara yang masih mau nampung gue. Sedangkan anak-anak itu, udah nggak ada siapa-siapa lagi. Semua orang terdekatnya pergi. Cuma bisa ngandelin bantuan pemerintah."

Terutama Lailis, anak perempuan berusia 6 tahun yang kini sedang duduk termenung di bawah pohon kelapa tidak jauh dari sini. Tadinya aku duduk di sana dan mendengarkan ceritanya.

"Mereka sekarang sedang apa, ya? Aku, kan, cuma pergi sebentar ke kota untuk ikut beli seragam sekolah. Kalau aku nggak pergi, mungkin sekarang aku bisa bersama mereka."

Kembali aku menangis. Hidupku memang menyedihkan, tetapi mendengar cerita sedih masih membuatku menangis.

Rei berdecak. "Ck. Nangis lagi. Woi, Kak Jon! Besti lo nangis, nih!"

Aku menoleh, melihat Jona yang datang tergopoh. Dia bukan anggota OSIS juga, tetapi ada di sini. Sepertinya dia memaksa Haidan untuk ikut karena penasaran seperti aku.

"Val, lo nggak apa?"

Melongo sebentar, aku merasa agak aneh dengan pertanyaan itu. Tidak biasanya Jona khawatir kepadaku. Yang ada malah biasanya mengolok kalah aku menangis.

"Gue baru tau pantai ini yang kena tsunami. Lo tau nggak gue beberapa hari lalu baru dari pantai sama orang rumah?" Tangan Jona terlihat gemetar dengan nada suara seperti tercekat.

"Oh, gue tau," jawabku dengan tangan menyeka air mata.

"Gue udah cerita?"

Menggeleng, aku memegang tangan Jona. Ya, tentu saja aku tahu itu adalah hari Senin saat kamu bertemu di warung. Gadis itu memang tidak cerita, tetapi aku tahu. Keadaannya waktu itu tidak sebaik biasanya dan aku sudah menebak pasti karena keluarganya. Jona yang pandai menyimpan rasa sedih itu terlihat sangat kacau hari itu.

Kulihat lagi Lailis yang masih duduk sendiri sembari menggambar di tanah. Persis seperti diriku beberapa tahun lalu. Namun, aku berharap akan ada orang baik yang mau menampung Lailis dan menganggapnya seperti anak sendiri.

Kemudian, mataku menatap hamparan pasir putih pantai yang berantakan. Sampah berserak di mana-mana sedang dibersihkan oleh anggota OSIS. Pepohonan tumbang dan tercabut akarnya.

"Gue mau pulang dulu, ambil barang-barang buat Lailis," ujarku.

*****

11-02-24.

Day 11: Buatlah cerita dengan setting pasca tsunami.

Coffee Time [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang