15 | Haidan Faroza - Si Ambis

6 2 0
                                    

Sebagai klarifikasi, haiku kemarin hanya iseng. Karena aku gabut dan tidak ada kerjaan.

"Tumben sekali," ucap saudara sepupuku yang tinggal serumah denganku. Lebih tepatnya aku yang menumpang di apartemennya.

Dia mengatakan hal itu karena sangat tahu kebiasaanku, selalu berusaha keras. Tidak pernah santai ataupun segabut itu sampai sempat membuat puisi. Dahulu, aku adalah anak laki-laki bertubuh gemuk dan sangat bodoh. Aku pernah di-bully teman sekelas juga dijauhi orang-orang termasuk guru-guru di sekolah.

Semua rasa sakit itu aku pendam hingga akhirnya berani jujur minta dipindahkan ke sekolah yang lumayan jauh dari rumah. Di sinilah aku tinggal sejak SMP. Saudara sepupuku berumur 28 tahun itu belum menikah dan tinggal sendiri.

Sejak saat itu, aku mulai memperbaiki penampilan dan segala kekuranganku. Hingga akhirnya menjadi laki-laki penuh percaya diri yang mampu menyihir perhatian para perempuan.

"Lo ngapain senyum-senyum sendiri, deh, Dan? Udah mulai gila?" tanya pria setengah pengangguran itu suatu hari.

"Lihat aja, di kelas 3 ini, di kesempatan terakhir gue ini, gue bakal dapatin juara pertama basket antarsekolah lagi!"

Wajah datar sepupuku itu melirik dari balik komputer yang dihadapnya. "Lo terlalu keras sama diri sendiri, Dan. Sekali-kali healing sana, jangan kebanyakan membatasi diri. Mumpung masih muda, loh."

Aku tersenyum miring dengan bangga sembari mengacungkan jari telunjuk dan jari tengah membentuk huruf V.

Pria itu menghela napas pelan. Mungkin gedek dengan kelakuanku yang 'tiada hari tanpa ambisi' ini.

Percakapan kami sebulan lalu masih terngiang di otakku. Aku tersenyum puas melihat hasil dari ambisiku setiap hari selama ini. Hari ini, setelah pertandingan basket selesai, pengumuman mengatakan bahwa tim basket sekolahku dengan ketua timnya adalah Haidan Faroza, menang juara satu.

Tentu saja aku, dong. Hahaha. Kini, piagamku bertambah satu lagi.

Hal yang lebih membuatku puas lagi adalah saat semua orang memujiku. Bahkan, para anak perempuan menghampiriku dengan bangga. Yah, meskipun sebagian besar harus diusir oleh Jona dan Valya, sih. Dua orang itu sepertinya sangat mengagumiku. Tidak heran, sih. Hahaha.

Sesampainya di rumah setelah pertandingan, lagi-lagi pria setengah pengangguran itu duduk di depan komputer. Entahlah apa yang dia lakukan, aku tidak peduli.

"Dan."

Aku hendak masuk ke kamar, tetapi menoleh lebih dahulu. "Kenapa, Bang?" tanyaku dengan wajah super ceria.

Tidak ada angin, hujan, badai, dan semacamnya, pria itu mengacungkan jempolnya ke udara. Lalu, wajahnya menyembul dari balik komputer. Ia tersenyum dengan kacamata melorot ke hidung.

Aku terkekeh bahagia.

***

day 15 : Masuk ke website https://perchance.org/emoji masukkan angka 3 dan klik centang unique. Buatlah cerita yang mengandung makna dari tiga emoji tersebut. (Makna diintepretasikan sedekat mungkin dengan emoji, sebisa mungkin literal)

 (Makna diintepretasikan sedekat mungkin dengan emoji, sebisa mungkin literal)

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

seneng banget bisa pas gini wahahah
entah sikap Haidan apakah jadi aneh :"

.

15 Februari 2022.

Coffee Time [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang