"Haidan!"
Suara itu setiap hari selalu menyapaku. Sosok gadis begaya rambut wolf cut pendek yang selalu terlihat happy. Saking happy-nya, sampai over.
Gadis bernama Valya Cornelly itu menghampiriku dengan santai, lalu mengalungkan tangannya di belakang leherku. Aku langsung menurunkan tangannya, lalu kembali berjalan santai menuju kelas.
"Haidan, kemarin aku lewat depan rumahmu, loh!"
Namun, Valya masih mengikutiku karena kami memang sekelas. Malah tidak hanya Valya, satu temannya lagi yang bernama Jona juga mengikutiku.
"Ngawur! Jangan percaya sama ini anak!" seru Jona.
"Apaan, sih! Iri lo nggak bisa lihat rumah Haidan?"
"Idih, gue udah berkali-kali, kan, rumah kita sekompleks."
Tidak menghiraukan mereka, aku memilih untuk berbelok di lorong antara menuju kelas dan ruang OSIS. Ya, karena aku ketua OSIS.
"Eh, Haidan mau ke mana? Tunggu, dong!"
"Ganggu aja kalau lo ikutan! Minggir!"
Suara mereka masih mengikutiku di belakang. Dua orang itu memang entah apa alasannya, selalu mengikutiku. Padahal teman laki-lakiku saja hampir jarang bersamaku.
Aku berhenti mendadak, membuat perdebatan mereka berhenti, lalu menatapku dengan senyam-senyum.
"Kalian nggak ke kelas?" tanyaku dengan nada ramah.
"Aku mau ... ke kantin bentar, kok. Hehe."
Aku masih tersenyum mendengar jawaban konyol Valya. Padahal tadi jelas-jelas ia mengucapkannya dengan keras bahwa ingin mengikutiku.
Lorong ini memang menghubungkan antara ruang OSIS, ke arah kantin, perpustakaan, lapangan belakang, juga deretan kelas 1.
"Woy, Ketos! Buru ke ruang OSIS, ada masalah!"
Seruan itu berasal dari ujung lorong yang terdapat ruang OSIS di depannya. Seorang adik kelas yang juga merupakan anggota OSIS sedang berdiri sembari melambaikan tangannya.
"Gue harus ke ruang OSIS. Kalian nganggur, 'kan? Bawain tas gue, ya!" Tanpa menunggu persetujuan mereka, aku menyerahkan tas yang ada di punggungku ke tangan mereka.
Hal yang membuatku tidak enak, yaitu bukannya keberatan, mereka malah senang membawa benda berat itu.
Segera aku menuju ruang OSIS dengan langkah lebar. Sesampainya di sana, ternyata masalah sedang menimpa kami. Proposal berisi acara untuk hari ulang tahun sekolah rusak. Padahal acara akan dilaksanakan minggu depan, yang mana artinya hari ini sudah harus mulai melakukan serangkaian latihan.
Seluruh agenda, anggaran, dan berbagai macam perizinan yang sudah disetujui ada di sana semua. Proposal itu tidak sengaja terbakar sisa rokok milik guru. Masih ada sedikit bagian yang utuh, tetapi tertumpahi kopi hitam sampai tidak terlihat tulisannya.
"Gimana, nih, Dan?"
"Lo tahu siapa yang melakukan ini?" tanyaku dengan suara meredam emosi.
"Mungkin Pak Septian. Beliau yang biasa ada di ruangan ini sambil ngerokok sama ngopi," jawab Ghana dengan suara kecil.
Brak!
Tidak tahan lagi, aku menggebrak meja dengan rahang mengeras. Bisa-bisanya guru itu melakukan kesalahan sefatal ini.
"Waktu kita seminggu lagi. Proposal itu tinggal dapetin izin kepala sekolah sama tanda tangannya doang."
"Lagian sisa yang ada juga tulisan tangan kita yang acak-acakan."
"Kalau sampai acara ini nggak jadi, kan, sayang banget usaha kita selama ini."
Beberapa anggota OSIS yang ada di ruangan ini saling bergosip. Mereka keresahan dengan musibah ini. Sedangkan aku duduk di kursi dengan pikiran berkecamuk.
Kini, aku sudah tidak peduli lagi membentak siapa, baik laki-laki maupun perempuan. Aku butuh pendingin kepala, bukan ocehan mereka. Namun, masalah yang terjadi malah semakin bertambah.
Tiba-tiba seorang anggota OSIS lain datang dengan tergopoh.
"Gawat, ada anak sekolah lain yang datang langsung nyerbu anak kelas 1!"
"Siapa? Dari sekolah mana?"
"Katanya, dia punya dendam sama anak kelas 1 yang namanya Cynia. Sekarang lagi rame banget, malah divideoin anak-anak!"
"Duh, kenapa harus sekarang, sih?"
Aku mengusap wajah dengan gusar. Masih berusaha tetap tenang agar bisa berpikir jernih. Di saat seperti ini, wakil ketua OSIS sedang sakit dan tidak masuk sekolah. Meskipun masih ada anggota lain, kalau tidak lengkap, tetap akan susah mendiskusikannya.
Seorang guru datang memasuki ruang OSIS. Guru berusia 30-an, berambut sedikit panjang, dan berjenggot tipis. Pak Septian.
"Dan, Bapak minta maaf. Bukan maksud saya mengacaukan rencana kalian, itu benar-benar nggak sengaja."
Guru itu duduk di atas meja di sampingku. Ia memegang pundakku dengan santai. "Kamu masih punya salinan proposalnya, 'kan?"
Susah sekali. Untuk sekadar menoleh saja aku terlalu malas, apalagi melihat wajah pria itu.
"Dan! Ketua OSIS dari sekolah si cewek tadi datang ke sini!"
"Wah, beneran cari masalah mereka!"
"Dan."
"Dan--"
"Da--"
BRAK!
"DIAM KALIAN!" teriakku. Emosi masih menggebu-gebu sampai aku bingung akan mengatakan kalimat apa.
Seketika ruangan menjadi senyap karena teriakanku barusan. Mereka terlihat tegang melihat tatapan tajamku.
Aku segera keluar dari ruangan sesak itu, menuju tempat yang lebih sejuk. Pertama, sebagai seorang pemimpin, aku harus berusaha sabar dan tenang. Aku tidak boleh marah sampai seperti itu seharusnya, tetapi memang emosiku sedang melunjak.
Lalu, setelah kepalaku dingin, aku harus memikirkan satu per satu solusi untuk masalah-masalah ini. Memang tidak bisa dilakukan dalam sekali kedip, tetapi aku yang sudah dipercaya sebagai ketua OSIS harus menunjukkan kewibawaanku.
Sekitar sepuluh menit berdiam diri di bawah pohon ketapang yang rindang di lapangan belakang, aku berdiri. Rasanya kepalaku sudah sedikit ringan daripada tadi. Aku juga mendapat pencerahan solusi untuk masalah ini.
***
Tema hari kedua:
The emperor advises you to take control of a chaotic situation through firmness and resolve, but you must avoid being too harsh and incurring the resentment of those around you.02 Februari 2022
KAMU SEDANG MEMBACA
Coffee Time [END]
RandomCoffee is always a good idea. Kehidupan random dari empat orang tokoh utama yang memiliki sifat berbeda dan secara kebetulan terhubung. "Ngopi dulu aja sini." #DWC NPC 2022 #DWC NPC 2023 #DWC NPC 2024 Copyright 2022 @Julysevi