4 | Haidan Faroza - Jangan Menoleh!

3 1 0
                                    

"Untuk menyambut hari ulang tahun sekolah kita nanti, pokoknya kelas kita harus mengadakan yang terbaik. Selain penilaian kelas, tentu saja untuk menunjukkan bahwa kelas kita nggak ada lawan," ujarku setelah menjelaskan panjang lebar. "Ada yang punya usul tambahan?"

Semua orang berbicara sendiri-sendiri, berdiskusi dengan sesama teman kelas. Wajahku cerah, aku yakin kali ini ideku pasti diterima. Meskipun acaranya sedikit merepotkan dan memakan banyak tenaga, hasilnya pasti akan memuaskan. Aku sebagai ketua OSIS sudah sepatutnya memiliki kelas yang dibanggakan oleh para guru.

"Dan." Salah seorang siswa mengacungkan tangan, lalu angkat bicara setelah kutunjuk. "Kalau emang acaranya serepot itu, mendingan gue nggak ikut. Kalian aja, gue mau bikin surat izin nggak masuk kelas."

Aku mengerutkan kening. Baru saja ingin bertanya, teman-teman yang lain ikut menyuarakan pendapatnya.

"Iya, gue juga males banget. Lo sendiri aja."

"Kenapa lo obsesi banget jadi nomor satu?"

"Setuju nggak usah ngadain acara!"

"Gue nggak ikutan!"

"Nggak punya waktu sama uang sebanyak itu, gue miskin. Nggak sekaya lo!"

Sampai seterusnya hingga kelas menjadi ricuh sendiri. Aku menghela napas lelah. Pikiranku tertuju pada tanggapan guru nantinya kalau kelasku mendapat penilaian standar atau bahkan jelek.

"Guys, tunggu, deh!" seruku pada mereka agar diam dan memberi kesempatan untukku berbicara.

"Kalian dengerin, tuh, gue mau ke kantin aja!"

"Iya, huuuuu, si paling perfect!"

Mereka bersorak-sorai sembari berhamburan keluar kelas.

Seketika darahku mendidih, naik hingga ke ubun-ubun. "KENAPA KALIAN MENOLAK?!" teriakku marah.

Entah ada angin dan badai dari mana, tiba-tiba gemuruh terdengar santer. Bumi yang kami pijak seolah bergetar dan akan merobohkan bangunan sekolah.

Semua orang berlarian keluar kelas sampai berjubel. Entah kenapa bisa pintu kelas terasa lebih sempit sampai mereka terjebak di pintu dan tidak bisa keluar kelas.

"Dan, ngapain lo bengong di situ? Ayo, keluar!" seru Valya. Ia bergandengan dengan Jona.

"Pintunya nggak muat," jawabku pelan.

"Lo mau mati kerobohan bangunan?!" teriak Jona.

Aku mendongak. Langit-langit mulai meruntuhkan bahan-bahannya.

Pletak!

"Awh," rintih Jona saat batu sebesar kepalan tangan mengenai pundaknya.

Melihat itu, semangatku kembali terpacu. Kami harus selamat. Mereka berdua hanyalah gadis SMA yang meskipun menyelamatkan diri, belum tentu bisa. Jadi, aku sebagai seorang laki-laki sekaligus ketua OSIS, harus menyelematkan mereka.

Pintu kelas masih belum terbuka. Mereka berjubel di sana tanpa bisa keluar atau masuk. Otakku berputar cepat mencari cara.

Aku menunduk seperti posisi rukuk saat salat. Lalu, Valya dan Jona naik ke punggungku, kemudian naik ke punggung orang-orang agar bisa keluar dari sana.

Setelah kedua orang itu berhasil keluar, giliran aku yang keluar. Satu per satu teman-teman kelas yang terjebak itu aku bantu keluarkan.

"Guys, kita harus segera keluar dari area sekolah! Selama berlari, jangan ada yang menoleh ke belakang, harus fokus ke depan!" teriakku memberi aba-aba.

Mereka segera berlarian menuruni tangga. Bangunan yang besar ini sedikit menyusahkan di saat genting. Aku berdecak kecil, kenapa mereka lama sekali menuruni tangga.

Setelah berhasil sampai di halaman sekolah, kami harus terus berlari hingga ke pintu gerbang. Namun, entah memang bangunan sekolah sebesar ini atau hanya perasaanku saja. Seolah halaman sekolah tidak ada habisnya. Semakin aku lari, semakin jauh jaraknya.

"Dan, gue harus nyelametin Rei!" seru Valya. Ia berhenti berlari.

"Nggak, kita harus terus berlari. Nggak ada waktu buat nyelametin yang ada di belakang. Sesuai yang gue bilang, jangan sampai noleh ke belakang."

Valya menggeleng. Tangannya langsung kugenggam erat, kepalanya kupegang agar tidak menoleh. "Dia pasti udah ada di depan. Dia cowok, nggak mungkin nggak bisa nyelametin diri sendiri."

Gadis itu sedikit tenang. Kami kembali berlari dengan kedua tanganku menggandeng Valya dan Jona.

"VALYA!"

Seseorang memanggil dari arah belakang. Aku hafal suara itu, Rei Kastara.

Tanganku sebelah kiri melepas pegangan tangan Jona, berusaha menangkap wajah Valya. Namun, terlambat. Bukan hanya Valya, Jona juga menoleh.

"AAAAAAA!"

Mereka berdua berteriak saat tubuhnya tertarik ke belakang. Dua buah pecahan tembok besar mengenai tubuh mereka hingga tidak bisa lagi berlari.

Aku tidak berhenti, hanya memelankan laju lariku. Kaki bergemetar disertai seluruh tubuh berkeringat dingin. Air mataku bercucuran begitu saja.

Percuma. Percuma aku berlari pun. Dua orang yang ingin aku selamatkan tidak selamat.

Akhirnya, aku menoleh. Melihat betapa kacaunya gedung sekolah yang aku banggakan itu. Tubuh Valya dan Jona tertindih batu besar. Teman-teman yang lain juga sudah tergeletak tidak sadarkan diri berceceran di tanah. Guru-guru pun masih terlihat jelas baju yang mereka kenakan.

Apakah ini akhir dari dunia?

Sebuah cahaya putih menyilaukan mataku. Aku baru sadar bahwa cahaya itu yang akan menjemput nyawaku dari dunia. Genteng-genteng merah menyerbu ke arahku serta menabrak kepalaku tanpa ampun.

The end.

****

04-02-24.

Emang boleh se-end ini? Wkwkwk

Day 4: Buatlah cerita dengan tema apocalypse.

Coffee Time [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang