7 | Jona Claresta - Duka Pagi Hari

11 3 0
                                    

WARNING! Spoiler bertebaran!

***

Baru kali ini aku main ke rumah Valya. Sosok yang menjadi seatmate-ku itu orangnya sungguh tertutup. Padahal kelihatannya seperti orang yang tidak punya kesedihan. Ternyata orang tuanya sudah tidak ada. Ia tinggal bersama paman dan bibinya yang-sudahlah, tidak perlu diceritakan. Biar Valya sendiri nanti yang cerita.

Setelah mendapat izin dari pamannya Valya, aku langsung menuju kamar gadis itu. Tentu saja setelah diantar Zia, sepupu Valya yang lumayan sombong, ehm.

Namun, ternyata pagi-pagi di hari Minggu ini gadis itu sudah tidak ada di kamar. Kamarnya masih berantakan dengan pintu balkon terbuka lebar.

"Val? Lo ke mana? Duh, gue jadi merinding. Mana kamarnya kayak serem banget."

Aku menuju balkon dengan perasaan panas dingin, takut ada semacam hantu menghampiriku.

"Huhuhu ...."

Suara tangis perempuan membuat buku kudukku semakin berdiri. Aku hendak berbalik, tetapi dikejutkan oleh suara lain.

"Mau ke mana lo?"

"Ayam, eh, ayam!"

Aku menatap depan balkon yang ternyata ada kamar orang. Di sana ada Valya yang sedang mengusap pipinya. Teguran Valya itu membuatku terkejut sampai kakiku melemas.

"Val, ngapa-"

Bulu kudukku yang berdiri, kini semakin tinggi. Seolah melihat hantu lain yang lebih seram. Valya berada di kamar seorang laki-laki! Dia juga terus mengusap-usap pipinya. Suaranya juga serak.

Nggak beres ni anak. Aku langsung tidak melanjutkan kalimat pertanyaanku itu. Memilih untuk diam saja sampai gadis itu berjalan santai ke arahku. Ia melompat ke balkon kamarnya sendiri.

"Gue sedih banget, Jon."

"Ja-jangan cerita ke gue, deh. Gue mau pulang." Sungguh, aku seolah bisa menebak apa yang akan gadis itu ceritakan. Pikiran buruk tidak ingin menjadi saksi, menghantuiku.

Tanganku dicekal kuat oleh Valya. Gadis itu menangis merengek. "Lo hibur gue, kek. Gue patah hati banget tau."

Semakin takut, aku melepas pegangan tangan Valya. Mataku sedikit melirik kamar depan yang menampilkan sosok laki-laki sedang menguap. Lalu, laki-laki itu merebahkan diri di kasur dengan enaknya. Duh, otakku sudah ke mana-mana, nih.

"Ya udah, lo cerita sama gue sini." Akhirnya, aku pasrah menjadi tempat curhat gadis itu. Meski dalam setengah tidak yakin.

Kami duduk di pembatas balkon dengan posisi aku menghadap Valya yang menghadap depan.

"Gue cerita dari mana, ya, Jon?"

"Dari awal, deh. Awal mula kenapa lo bisa-"

"Oh, iya! Rei berengsek banget. Masaan dia bikin gue patah hati pagi-pagi gini." Valya memulai bercerita.

Aku dengan serius menyimak ceritanya. Oh, jadi, nama laki-laki itu Rei?

"Salah gue juga, sih, udah percaya aja sama buaya buntung kayak dia."

Bertele-tele banget. Mau berdecak, tetapi takut Valya tersinggung. Akhirnya, aku menunggu dia melanjutkan ceritanya.

"Lo bayangin, deh, guru yang tiap hari ngajar lo, udah kayak orang tua sendiri, harus lo bunuh pake tangan lo sendiri."

"Hah? Apa, ya?" Nada suaraku mulai kurang percaya dengan gadis ini. Dia emang kadang agak gila, sih.

Valya menangis lagi dengan rengekan cukup mengganggu. "Koro-Sensei mati, Jon. Dia dibunuh sama murid-muridnya. Padahal dia ganteng aslinya. Meskipun jadi gurita raksasa berwarna kuning dan jadi buronan, tetep aja dia baik banget. Dengan kecepatannya 20 Mach atau setara dengan 24000 km/jam, dia seolah bisa ngapain aja."

Aku sedikit tercengang, menggaruk kepalaku yang tidak gatal sama sekali. Aku sudah keramas, kok. "Tunggu, Val, lo lagi ngomongin apa, ya? Gue nggak ngerti sama sekali."

Bukannya apa, dari tadi bertele-tele, giliran sudah memasuki mode serius, malah ngelantur.

"Lo nggak tau Koro-Sensei? Itu, loh, wali kelas 3-E Kunugigaoka yang bakal ngehancurin bumi di bulan Maret. Guru yang bisa ngelakuin apa pun. Bahkan, dia bikin buku panduan berwisata sama buku tahunan sekolah setebal kamus lima bahasa dalam semalam! Kelas 3-E yang awalnya berisi murid buangan dan nggak punya harapan, jadi semangat gara-gara adanya Koro-Sensei.

"Koro-Sensei juga bisa berubah warna, loh. Lucu banget, bikin mood naik terus. Paling sering, sih, warna kuning yang artinya emosinya sedang senang atau b aja."

Wajah Valya jadi cerah dan bersemangat. Dia mendeskripsikan dengan jelas bagaimana sosok idola barunya itu. Tidak lagi menangis, malah berputar-putar di depanku dengan senang.

"Ada sekitar 36 daftar kelemahan Koro-Sensei yang telah diketahui murid-muridnya. Satu kelemahannya yang paling bikin gue mewek di pagi hari ini, yaitu ketika ditangkap semua tentakelnya sekaligus, membuatnya nggak bisa bergerak." Kini, wajah Valya kembali murung Ia duduk di sampingku, menyandarkan kepalanya tanpa risi. "Ending-nya bikin nyesek banget. Lo harus nonton, Jon. Gue nggak mau sakit hati sendirian. Rei jahat banget nggak nangis sama sekali. Dia malah datar aja, katanya ngantuk karena semalaman kita maraton."

Aku menyingkirkan kepala Valya yang bersandar di pundakku dengan perlahan.

"Pala gue pening, Val. Gue mau pulang aja." Mungkin sekarang wajahku terlihat pucat saking tidak kuatnya menerima semua informasi tidak penting itu.

"Tunggu, Jon. Lo belum tau satu fakta lagi."

Aku yang hampir mencapai pintu balkon, berhenti, lalu menoleh ke belakang. "Hah? Apaan?"

Wajah Valya memerah dahulu sebelum berbicara. Ia menatap hal lain, seolah akan mengatakan hal sangat memalukan.

Hah? Jangan-jangan ini inti dari semua ceritanya hari ini? Astaga, peningku sedikit menghilang.

Kata Valya, "Meskipun bijaksana dan selalu disiplin, sebenarnya Koro-Sensei itu mesum."

Gubrak!

***

day 7: Pilih satu karakter dari cerita orang lain yang kamu suka, lalu deskripsikan dia dari sudut pandang karaktermu.

Awas, ada spoiler ending Assassination Classroom bagi yang belum nonton. hehe
apa, ya? awalnya bingung tokoh siapa yang mau tak ceritain. Akhirnya, gitulah
bye~

.

07 Februari 2022.

Coffee Time [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang