Sekolah ini pun memiliki sebuah mitos legendaris. Konon, katanya, kalau melihat bayangan di lantai teratas, akan dijatuhi kutukan.
Lagian siapa yang percaya dengan mitos murahan seperti itu? Apalagi saat ada yang berkata kalau sekolah ini dulunya bekas rumah sakit, kuburan, dan lain sebagainya.
"Tapi, emang bener, sih, Val. Soalnya kakak kelas kita yang udah lulus, pernah lihat juga. Dia indigo, jadi, tiap lihat ke atas pasti bertatapan sama sosok ini. Bukan sekadar bayangan aja."
Entah dari mana Jona dapat gosip itu. Yah, meskipun dia sangat update soal berita terbaru sekolah ini, sih.
"Iya-iya, abis itu dia dapat kutukan? Jadi apa, tuh? Jadi cangkir kopi?" tanyaku dengan nada tidak percaya.
"Terserah, deh, percaya atau nggak." Gadis itu berdiri tepat saat Haidan melewati bangku kami.
Laki-laki berkulit sawo matang dengan hidung mancung dan wajah bersih itu tersenyum.
Bel sudah berbungi sejak tadi, tetapi kami baru keluar kelas ketika Haidan juga keluar kelas. Itu, sih, Jona saja yang mengikutiku. Dia pasti tidak mau kalah saing dariku.
Sampainya di luar kelas, karena penasaran, aku mengajak Jona melewati lapangan. Aku menoleh ke lantai teratas gedung kelasku. Kosong, sih. Percaya, kok, begituan, sih.
Yang ada mataku terasa agak blur gara-gara menatap terlalu atas. Bukan karena melihat tingginya kemajuan dunia yang membuat diri insecure. Namun, seperti ada yang menghalangi pandanganku.
Aku menunduk untuk menguceknya sejenak, lalu kembali berjalan ke kantin mengikuti Jona.
Sesampainya di kantin, aku melihat Haidan tengah berjalan ke arahku dengan melambaikan tangan. Ia seperti memintaku untuk mendekat. Tanpa pikir panjang lagi, aku berlari ke arah laki-laki itu.
Brak!
Akan tetapi, sial sekali. Aku menabrak seorang penjual makanan di kantin yang bernama Mbak Mira. Wanita itu langsung mengeluh karena makanan yang dia bawa tumpah.
"Maaf, Mbak, nggak senga—sial, panas banget!" Aku langsung meniup-niup betisku yang tidak sengaja terkena tumpahan kuah bakso yang masih panas.
Uh, jadi basah, deh, kaus kaki yang kukenakan. Aku mendongak untuk mencoba berdiri, berharap ada yang membantuku. Setidaknya Haidan yang tadi melambai ke arahku.
Akan tetapi, yang kudapat malah Haidan tengah duduk bersama Jona. Mereka terlihat akrab sekali sampai tertawa-tawa. Sial, Jona kacang lupa kulit! Dia kira bisa senang-senang saat temannya sedang kesusahan seperti ini? Awas aja!
Dengan langkah tertatih, aku hendak menghampiri dua orang itu. Tidak peduli ditatap aneh oleh orang-orang di kantin.
"Loh, mau ke mana kamu, Val? Bayar makanannya, dong, kan, kamu yang tumpahin."
Mbak Mira yang tadi kutabrak, berkacak pinggang. Ia menatapku galak. Meskipun masih muda, wanita itu cukup membuatku ketar-ketir.
"Duh, Mbak, kan, nggak sengaja. Lagian saya belum pesen makan. Kalau buat bayar itu, entar saya makan apa, dong?"
"Itu, sih, bukan urusan saya. Sini, bayar! Ya, masa saya yang rugi, sih? Padahal saya udah hati-hati, kamunya aja yang lari-lari kayak anak kecil."
Pikiran positifku : berarti kalau kayak anak kecil, aku imut, 'kan?
Pikiran negatif : SIAL! Udah bau tanah, masih ngatain anak orang sembarangan!***
Akhirnya, dengan kesepakatan, aku harus mencuci piring menggantikan Mbak Mira. Tentu saja aku tidak merelakan begitu saja uangku yang tidak seberapa ini.
Setelah selesai mencucikan piring, aku kembali ke kelas. Namun, ternyata kesialan itu tidak berhenti di situ saja. Karena nyatanya aku masih harus menerima kesialan yang lainnya.
Hal paling membuatku sangat kesal sampai rasanya ingin makan orang, yaitu saat aku berjalan di koridor kelas, aku terjengkang karena lantai yang licin baru dipel.
"WOI, KALIAN! SIAPA YANG SENGAJA BIKIN GUE SIAL TERUS BEGINI, ANJIR?!" Aku berteriak juga merengek sebelum bangun dari terjatuhku.
Sontak semua orang tertawa sangat kencang. Tanpa ada minat untuk membantuku berdiri.
Jangan-jangan ....
Tidak peduli lagi, aku segera menuju kelas untuk menemui dan memarahi Jona yang membuatku harus ketimpa sial seharian ini.
"WOI, JON, APA MAKSUD LO, HAH?" Langsung saja aku menghampiri gadis itu di bangkunya. "Lo sengaja, kan, bikin gue sial hari ini? Sengaja banget ceritain mitos itu, iya, 'kan?"
Jona hanya melongo tidak paham. Namun, sejenak kemudian saat aku sudah duduk di sampingnya dengan agak tenang, ia paham maksudku.
"Oalah, lo yang tadi nggak percaya, penasaran, ya? Lo pasti ngelihat ke lantai atas, 'kan? Ngaku aja!"
Aku tidak berani menatap wajah teman sebangkuku itu.
"Hm, kalau udah gini, sih, lo bakal percaya. Awas aja, bukannya nakutin, tapi kutukan itu berupa 13 kesialan, loh. Lo harus terima kesialan itu selama 13 hari."
Mataku langsung melebar.
Brak!
"Apa lo bilang?!"
"Hm, menurut berita yang gue baca, sih, gitu. Hari ini udah dapat berapa kesialan?"
Aku yang kesal, dengan polosnya menghitung kesialan itu. Pertama mungkin saat aku menabrak Mbak Mira. Kedua, kakiku kena air panas sampai melepuh. Ketiga, tidak ada yang membantuku malah menertawaiku. Keempat, aku harus mencuci piring. Kelima, saat jalan ke kelas, seekor burung buang hajat mengenai kepalaku, sehingga aku harus mencucinya lebih dahulu di toilet. Yang itu memang tidak aku ceritakan karena—entahlah.
Keenam, terpeleset lantai basah sampai jadi bahan meme teman-teman seangkatan. Ketujuh, yah, barusan terjadi, aku harus mengerjakan soal di luar kelas karena bau kepalaku yang sangat mengganggu.
Sudahlah. Capek banget.
Sepulang sekolah, aku langsung menyetop Jona agar menceritakan keseluruhannya tentang kutukan tidak jelas ini.
"Jadi, emang gitu. Hari ini, kan, Jumat tanggal 13. Udah pasti kutukan itu bakal terjadi. Makanya sering-sering ikutan gosip. biar nggak kudet."
"Terus, cara ngilanginnya gimana? Gue udah dapat tujuh kesialan udah repot banget."
"Ada, sih, kalau lo sanggup. Kayak misalnya mandi kemba—"
Plak!
Kugeplak kepala Jona yang tidak beres itu.
"Hehe. Mudah, kok. Lo tinggal ke lantai atas aja minta kutukannya dibatalin."
Aku langsung melongo lebar. Apa-apaan, tuh?
"Ya, lo mau tetep dapat kutukan itu selama 13 hari atau udah aja? Kalau awalnya lo nggak percaya, harusnya, sih, nggak takut dan tetep berpikir di sana nggak ada apa-apa." Jona menjeda. "Kalau lo tiba-tiba takut, kutukan itu kayaknya bakal terus terjadi, sih, sampai lo hengkang dari sekolah ini."
Apa-apaan itu? Jadi, aku tetap harus ke sana, nih?
Gila.
***
day 13 : Mitos angka 13.
Wah, ngebut wahaha
udah nggak peduli lagi sama kegajeannya.
13 Februari 2022.
KAMU SEDANG MEMBACA
Coffee Time [END]
RandomCoffee is always a good idea. Kehidupan random dari empat orang tokoh utama yang memiliki sifat berbeda dan secara kebetulan terhubung. "Ngopi dulu aja sini." #DWC NPC 2022 #DWC NPC 2023 #DWC NPC 2024 Copyright 2022 @Julysevi