"Ini pasti Brontosaurus."
Lailis mendongak, menatapku sebentar, lalu kembali melanjutkan gambarnya di atas tanah. "Jenis aslinya Apatosaurus," ujarnya.
Aku mengangguk-angguk, membenarkan pernyataannya.
Gadis kecil itu kembali menggambar di sampingnya. Ia memang belum sepenuhnya ceria, tetapi tidak terlihat sesedih sebelumnya.
"Dinosaurus favoritmu apa? Kalau aku, sih, suka Velociraptor karena dia terkenal cerdas bisa mengalihkan perhatian mangsanya." Aku mengoceh saja, mencari-cari topik agar gadis itu setidaknya teralihkan dari kesedihan.
Belum menjawab, gadis itu berhenti menggambar. Ia geser posisi duduknya, lalu menggambar di atas tanah yang masih kosong belum digambari.
"Aku suka Triceratops. Bentuk badannya mirip Rhinos, tapi dia punya tiga tanduk." Tangannya menunjuk gambar yang barusan ia buat.
Senyumku mengembang. Akhirnya, kami membahas berbagai macam dinosaurus sampai gadis kecil itu tidak sadar dengan kesedihannya lagi.
"Coba kalau suara T-rex gimana?"
"Raawr!"
"Hahahaha!"
Sampai Lailis tidak sadar ia tertawa lepas lagi.
Seolah aku melihat diriku yang dulu setelah kepergian kedua orang tuaku. Bedanya tidak ada yang menyemangatiku. Yang ada hanyalah saudara dari pihak Papa yang dengan terpaksa harus mengurusku bergantian.
Tidak pernah satu pun dari mereka menghiburku padahal aku baru saja kehilangan. Mereka malah menyalahkan dan menganggapku sebagai beban.
Semakin dewasa, aku menyadari bahwa yang aku butuhkan bukan penyemangat dari orang lain, tetapi dari diriku sendiri. Aku harus berusaha membuat diriku kembali hidup untuk berterima kasih kepada Mama Papa.
"Gambar kamu bagus semua. Nanti kalau udah masuk sekolah, ikut kegiatan menggambar, ya."
Lailis menggeleng. "Aku nggak mau sekolah."
"Kenapa?" tanyaku.
"Mama sama Papa udah nggak ada, buat apa aku sekolah? Nanti seragamnya aku kasih ke yang membutuhkan aja."
Hatiku seperti dicubit, sakit sekali mendengarnya. Sama persis dengan diriku dulu.
Aku berjongkok di depan gadis berambut dikepang dua itu. "Lailis, kamu harus sekolah. Mama sama Papa di surga bakal nungguin kamu sukses. Kamu harus tunjukin ke mereka kalau kamu udah sekolah seperti yang mereka harapkan."
Gadis itu masih menggeleng. Air matanya berada di pelupuk, siap jatuh kapan saja.
"Tunggu sebentar," ujarku sembari menepuk kedua pundaknya. Aku pergi sebentar ke tenda pengungsian. Lalu, lima menit kemudian kembali membawa satu paper bag besar dan satu tas ransel berwarna biru muda.
Mata gadis itu memerah. Air matanya sudah tidak ada, sepertinya sudah ia seka berkali-kali ketika aku pergi.
"Ini sepatu, tas, buku, dan peralatan sekolah buat Lailis. Terima, ya. Lailis harus sekolah karena Kakak udah bawain ini semua khusus buat Lailis."
Gadis kecil itu malah menangis sesenggukan. Ia tutupi kedua matanya sembari menunduk. Pundaknya naik-turun terisak pilu.
Kujatuhkan barang bawaanku. Kedua tanganku meraih tubuh kecil ringkih itu ke dalam pelukan.
Tebersit di dalam benakku, bisakah aku memberi kehangatan kepada orang lain sementara diriku sendiri tidak pernah merasakan kehangatan itu? Apakah ini sisi lain dari aku yang selama ini selalu membadut?
"Stop nangis. Nanti kamu digigit sama Triceratops yang kamu gambar ini, loh," candaku.
"Triceratops herbivora, kok."
*****
13-02-24.
Day 13: Buatlah cerita dengan tema, "Dinosaurus."
Aaaaa mellow sekali Valya akhir-akhir ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Coffee Time [END]
RandomCoffee is always a good idea. Kehidupan random dari empat orang tokoh utama yang memiliki sifat berbeda dan secara kebetulan terhubung. "Ngopi dulu aja sini." #DWC NPC 2022 #DWC NPC 2023 #DWC NPC 2024 Copyright 2022 @Julysevi