Tumben sekali aku duduk di meja makan bersama lima orang lainnya. Satu keluarga utuh yang biasanya selalu bersama dengan ramainya kebahagiaan. Berasa aku adalah pembantu yang seharusnya tidak ada di sini.
"Jona, makan yang banyak. Ayo, nambah lagi."
"Makasih," jawabku pelan kepada seorang pria paruh baya yang notabenenya adalah kepala keluarga ini.
"Biarin aja, dia mau makan, ya, makan, nggak mau, ya udah," timpal wanita yang duduk di depanku pas. Ia sibuk melayani makan tiga anak kecilnya. Satu yang paling kecil berusia 4 tahun berada di antara ia dan suaminya. Dua lainnya berusia 9 dan 13 tahun duduk di samping mereka masing-masing.
"Udah kenyang," ujarku dengan nada sebal. Aku berdiri hendak pergi dari sana. Suasana yang tercipta sangat tidak menyenangkan, padahal makanan di hadapanku adalah kesukaan, ayam bakar madu.
Kulirik ekspresi wanita yang katanya mama kandungku itu. Tidak terlihat peduli sama sekali.
"Kamu belum menghabiskan makananmu, Jona. Habiskan dulu, lalu kita berangkat." Papa tiriku mencegahku.
Aku berhenti, menatap pria itu dengan penuh pertanyaan.
Tanpa kukeluarkan pertanyaanku, pria itu menjawab, "Kita akan pergi ke pantai bersama-sama. Mumpung hari ini Papa libur sehari, sekalian refreshing sejenak dari penatnya sekolah."
Akhirnya, mau tidak mau aku ikut mereka. Meskipun tidak ada senyum sama sekali terpampang di wajahku. Bahkan, diajak bicara oleh suami mamaku yang ramah itu pun aku hanya melirik tidak minat.
"Jona, bagaimana sekolahmu?"
Di tengah perjalanan, pria itu mengajakku berbicara, padahal aku sudah berusaha diam saja di bangku belakang bermain ponsel.
"Jawab atuh, punya mulut nggak?!" sentak Mama dari kursi depan.
"B aja, kok," jawabku malas.
"Ck, harusnya, mah, nggak usah diajak kali, Pa. Lagian dia udah gede, udah bisa pergi ke mana-mana sendiri. Biasanya juga keluar nggak pamitan."
Lagi-lagi Mama mencari perkara untuk memancing emosiku. Beruntungnya kami sudah sampai, jadi tidak ada kesempatan untuk beradu mulut.
Namun, tidak sampai di situ saja, lagi-lagi Mama membuat perkara ketika sudah sampai di pantai.
"Kamu, tuh, seneng dikit, kek, diajak keluar. Pasang muka kecut mulu. Sana, beliin minuman!"
Masih kutahan.
"Bisa, nggak, sih, ngefotoin! Kenapa burem semua gini?! Mending nyewa orang daripada difotoin sama kamu yang nggak ikhlas!"
Taha—
"Nggak guna banget ikut liburan! Mendingan di rumah aja tadi beres-beres sekalian nyabutin rumput di pekarangan."
"Mama, tuh, seenggaksukanya sama aku, ya?! Sebenarnya aku anak kandung Mama bukan, sih?! Kenapa selalu aja disalahin?! Punya Mama berasa figur doang, tapi enggak kerasa perannya sama sekali! Apa-apa mereka bertiga! Sedangkan aku?! Seolah aku, tuh, cuma parasit di keluarga ini! Seharusnya Mama yang beres-beres, bukan aku. Sekalian beresin diri Mama yang belum beres itu!"
Bodo amat. Aku sudah tidak bisa menangis lagi. Air mataku berasa sudah kering dan tidak tersisa untuk menangisi mama yang berasa orang lain itu.
Kakiku melangkah pergi dari sana dengan debaran jantung menggebu-gebu.
Apanya yang liburan bersama keluarga. Aku, mah, nggak diajak.
*****
02-02-24.
Day 2: Buatlah cerita dengan tema, "Liburan bersama keluarga."
Sabar, Jon. :((
Berada di tempat dengan waktu lebih cepat satu jam dari WIB sedikit menguntungkan. Karena DL jadi di pukul 22.59 HEHEHEHEHBabaih!
KAMU SEDANG MEMBACA
Coffee Time [END]
RandomCoffee is always a good idea. Kehidupan random dari empat orang tokoh utama yang memiliki sifat berbeda dan secara kebetulan terhubung. "Ngopi dulu aja sini." #DWC NPC 2022 #DWC NPC 2023 #DWC NPC 2024 Copyright 2022 @Julysevi