Hari ini ketika aku terbangun, aku melihat dua buah bola mata menatapku tajam dari balik jendela balkon. Bagian wajah lainnya seperti tidak ada, sehingga terlihat seperti bola mata yang menempel di jendela. Disertai ketukan pelan pada kacanya sedikit membuatku merinding.
Apakah mata itu yang mengetuk jendela?
Sontak aku langsung bangun dengan jantung berdetak kencang. Aku meraih bantal, lalu berjalan perlahan menuju jendela dengan mengendap.
Tiga ....
Kakiku sedikit gemetaran untuk kembali melangkah, apalagi tinggal tiga langkah lagi menuju jendela.
Dua ....
Kini, tanganku sudah meraih gorden untuk kusibak tiba-tiba. Mataku berusaha menutup dulu sebelum menemukan sebuah kenyataan bahwa ....
Satu!
Srek!
"AAAAAAAAA!"
Teriakanku menggema di seluruh rumah karena hari masih terlalu pagi, belum ada suara-suara sibuk. Melihat sosok jangkung dengan wajah datar di balik jendela membuatku refleks mengeluarkan suara emasku di pagi yang dingin ini.
Brak!
"BERISIK!" seru Zia dari ambang pintu. Sepupuku itu masih memakai piyama dengan membawa boneka beruangnya.
Aku masih mematung di depan jendela, lalu menunduk. Gadis berusia sepantar denganku itu mendengkus kesal, lalu keluar lagi tanpa menutup pintu kamarku. Dasar, sepupu tidak tahu diri! Kebiasaan sekali, sih, membuka pintu tidak mau menutupnya lagi!
Ketika aku menoleh lagi ke jendela, sosok yang kulihat tadi sudah hilang. Aku segera menutup kembali gorden sebelum tatapanku mengarah ke mana-mana dan menemukan hal kurang mengenakkan lagi.
Setelah hari sudah terang, kami di keluarga ini sudah bangun, bahkan sudah siap di meja makan. Namun, rasanya masih aneh. Tidak hanya sekali aku berteriak seperti itu karena penakut. Padahal di sini aku hanya menumpang hidup, tetapi terus membuat ketidaknyamanan pada keluarga baik hati ini.
Bagi mereka, akulah si tidak tahu diri itu.
"Kalau kerjaanmu tiap hari cuma teriak nggak jelas, mending pergi aja, deh! Ganggu doang!"
Stazia Austeen namanya. Sosok gadis berambut hitam lurus sebahu, poni tipis-tipis, hidung mancung, dan bibir merah. Sebenarnya, kalau tidak denganku, ia jarang marah.
"Zia," tegur papanya dengan suara berat nan tegas.
"Pa!" Malah ganti sang mama yang menegur suaminya. Wanita itu meletakkan lauk yang banyak pada piring putrinya.
"Maaf," ucapku dengan menunduk. Rasanya jadi malas sarapan kalau seperti ini.
"Lagian kamu kenapa kebiasaan banget, sih, teriak nggak jelas gitu?" tanya Tante Darla dengan nada tidak ramah. "Udah numpang, seenaknya sendiri aja," gumam kecil wanita itu di akhir.
"Maa--"
"Tuh, kan! Kebiasaan banget minta maaf terus! Malas sarapan kalau ada cecunguk sepertimu!" Zia berteriak, lalu bangkit dari duduknya dengan kasar. Ia langsung ke lantai atas lagi mengambil tas sekolah.
"Zia!" panggil Tante Darla yang tidak diindahkan gadis SMA itu. "Gara-gara kamu, sih!"
Mendengar itu, aku berusaha untuk diam saja. Kejadian ini sudah terbiasa setiap hari sejak kepindahanku ke rumah ini beberapa tahun lalu.
Harus tinggal dengan keluarga jauh, dibenci karena aneh, lalu dimarahi dengan dalih 'gara-gara kamu'.
Lihat saja, aku akan menjambak Rei nanti di sekolah! Ialah puncak permasalahan hari ini.
***
Tema day 1: Buat cerita yang berawalan, "Hari ini ketika aku terbangun, aku melihat ...."
Fyuuuhhhh ....
Hari pertama terlewati dengan sukses
Tapi, masih harus waswas buat tema hari selanjutnya :)BTW, selamat Februari!
01 Februari 2022.
KAMU SEDANG MEMBACA
Coffee Time [END]
RandomCoffee is always a good idea. Kehidupan random dari empat orang tokoh utama yang memiliki sifat berbeda dan secara kebetulan terhubung. "Ngopi dulu aja sini." #DWC NPC 2022 #DWC NPC 2023 #DWC NPC 2024 Copyright 2022 @Julysevi