47. KAKAK BERADIK
Di ruang tamu berukuran setara dengan garasi yang mampu menampung empat mobil sekaligus telah duduk Farki dengan balutan kemeja kantor berwarna putih serta dasi berwarna biru. Di hadapannya sudah ada Bu Shinta yang datang satu jam yang lalu. Laptop yang masih menyala ditemani dengan berbagai berkas kantor yang harus di selesaikan dalam waktu dekat di biarkan menyala. Kini fokus Farki terpusat pada wanita berprofesi sebagai guru private adiknya itu.
"Sudah tiga kali, Farki. Saya tahu Sekar itu pintar. Ibaratkan sebuah besi yang dibiarkan, lama kelamaan besi itu akan berkarat dan merusak dirinya sendiri. Saya hanya takut Sekar mengalami hal yang sama, ya walaupun kemungkinan itu tidak terlalu besar. Tapi tetap saja, hal kecil yang dibiarkan lama kelamaan akan menjadi besar dan serius. Kamu paham kan maksud saya?" jelas Bu Shinta menatap Farki yang duduk di hadapannya.
Farki mengangguk pelan memahami kekhawatiran guru private adiknya ini. Walaupun Farki tahu Sekar itu pintar, tapi ada tanggung jawab yang harus di selesaikan oleh adiknya itu. Farki juga merasa bingung melihat sikap Sekar yang menurutnya berubah belakangan ini.
"Ya sudah, kalau begitu saya permisi dulu Farki. Tolong adiknya di bimbing sebaik mungkin, ya," pesan Bu Shinta seraya mengambil tas yang ia letak di atas meja.
"Terimakasih Bu. Maaf kalau kedatangan anda kali ini sama seperti sebelumnya," ungkap Farki merasa tidak enak hati.
Setelah kepergian Bu Shinta, Farki melonggarkan dasinya dan melepas dua kancing teratas kemejanya. Cowok itu menyugar rambutnya ke belakang diiringi decakan dari mulutnya. Kantung mata yang begitu ketara serta kedua mata yang terlihat sayu menjerit ingin beristirahat sesegera mungkin. Farki melanjutkan pekerjaan yang tertunda dengan pikiran yang berkecamuk. Tak berapa lama, daun pintu yang semula tertutup kembali terbuka menampilkan seorang gadis dengan tas selempang di bahunya.
"Abang!" sapa Sekar melangkah menemui Farki yang berdiri menyambut kehadirannya. Kedua manik indah tersebut tampak berbinar dan tangan terentang siap untuk memeluk Farki.
Sekar mengernyit ketika tak merasakan sentuhan apapun dari abangnya. Sekar mundur selangkah menatap Farki yang ternyata menyorotnya dingin.
"Abang kenapa?" tanya Sekar menatap Farki. "Abang capek?"
Farki hanya berdehem sebagai jawaban. "Kamu tau Abang capek. Seharusnya kamu ngertiin Abang, dan jangan buat ulah Sekar."
Sekar termangu untuk sesaat, menyerap perkataan Farki yang berdiri di hadapannya dengan bersilang dada. "Sekar ada salah?" tanya Sekar pelan. Ia sadar bahwa posisinya sedang tidak aman saat ini.
"Hari apa ini?" tanya Farki menatap Sekar dengan alis sedikit terangkat.
"Minggu,"
"Jam berapa ini?"
Sekar mengerjapkan matanya, bibirnya spontan ia gigit dengan tangan meremas tali tas. "Setengah sepuluh malam," cicit Sekar menurunkan tengkuknya.
"Yang nyuruh nunduk siapa?" Jari telunjuk Farki terangkat menopang dagu adik satu-satunya.
"Pertama kamu jatuh, kedua pulang malam dan gak cerita apa-apa seolah gak ada kesalahan di sana, dan yang ketiga hal yang sama terulang. Kamu merasa punya tanggung jawab apa enggak?" tanya Farki menyebutkan satu persatu kesalahan Sekar dengan suara begitu lembut dan perlahan-lahan. Namun, hal itu membuat atmosfer di sekitar menjadi mencekam.
"Katanya mau Papa dan Mama pulang. Bu Shinta udah tiga kali datang dan pulang dengan sia-sia," ucap Farki membuat Sekar semakin kuat meremas tali tasnya. Jari telunjuk Farki tidak lagi berada di dagunya, melainkan menyilangkan kedua tangan di depan dada.
KAMU SEDANG MEMBACA
SEKARAKSARA (new version) [END]
Teen FictionSekar, Permata Merah Alantra sebutan gadis itu. Ia mempunyai misi untuk membuat orang tuanya pulang dari luar negeri dengan berusaha menjadi siswi paling berprestasi, ia dikenal multitalenta dan acap kali berkontribusi dalam perlombaan sekolah. Teru...