Sesampainya di kamar, Farki dengan hati-hati menurunkan Sekar dari gendongannya. Kedua kakak-beradik itu sama-sama memiliki pipi merah di salah satu sisinya. Rasa perih dan sedikit nyeri Farki rasakan membuatnya mengusap pelan pipinya. Farki melihat air mata masih menetes membasahi pipi Sekar dengan sesenggukan yang mengisi kamar. Hal itu sontak membuat Farki mengusap kedua pipi adiknya dengan lembut.
Sekar menatap Farki ketika menyadari perilaku abangnya. "Abang, maafin Sekar, hiks.."
Farki mengangguk pelan seraya mengusap helaian rambut di kepala Sekar. Bukan saatnya untuk memarahi ataupun menceramahi adiknya, sudah cukup apa yang Sekar terima dari papanya.
"Gak papa sayang, Abang sayang kamu. Diam ya, jangan nangis lagi. Sini peluk Abang!" Farki membawa tubuh Sekar kedalam dekapan hangatnya. Bukannya tenang Sekar malah semakin terisak karenanya.
"Abang, Sekar di skors, hiks.. Sekar bakal gak sekolah tiga hari, hiks.."
"Adek Abang kan udah besar, udah berani nakal," seloroh Farki berniat mencairkan sedikit suasana.
Tak lama pintu kamar Sekar terbuka dengan Risa berdiri membawa semangkok es batu dan handuk. Risa begitu khawatir melihat kedua anaknya di marahi habis-habisan oleh sang suami.
"Sayang!" panggil Risa.
Sekar dengan cepat merespon dan merentangkan kedua tangannya menunggu tubuh mamanya memeluknya. Risa dengan cepat memeluk tubuh rapuh sang putri. Detik itu juga air mata dari ibu dan anak sama-sama menetes membuat Farki tak tega melihatnya.
"Sekar, maafin mama ya sayang," ungkap Risa dari hati terdalamnya. Ia sungguh menyesal karena dirinya tak bisa berbuat apa-apa.
"Mama masih takut sama Papa?" tanya Farki menatap lekat wajah sang mama. "Gimana Sekar, Ma? Dia jauh lebih takut!" tukas Farki dengan sedikit penekanan lantaran kesal.
"Maafin mama, Farki," ungkap Risa menatap anak sulungnya yang kini tumbuh dengan sangat tampan.
"Papa dan Mama dengan mudahnya pulang ketika Sekar melakukan kesalahan kayak gini," ungkap Farki masih dengan emosi yang terpendam. "Kalau ternyata mudah membuat kalian kembali, lalu kenapa Sekar terus di pressure,Ma?"
***
Sejak semalam hingga hari pertama Sekar menjalani masa skorsnya, yang hanya gadis itu lakukan adalah diam dan merenungi segala perbuatan dan kesalahannya. Sekar kini sadar bahwa dirinya telah keluar dari zona nyamannya berada. Cowok tampan bercincin karet hitam dikelingkingnya itu benar-benar memberikannya sebuah kenangan dan cerita luar biasa untuknya.
Pantas saja orang tuanya kerap kali mengingatkan pada Sekar untuk selalu memberi jarak pada laki-laki. Kini Sekar tahu akibat dari nasihat kedua orang tuanya. Banyak hal dari dirinya yang terganggu kenyamanannya. Sekar juga sadar bahwa satu persatu nilainya mulai merosot.
Apakah kedekatan dan perasaan kagum akan ketampanan Aksara menjadi penyebab ini semua hingga berakibat Sekar hilang kendali dalam dirinya?
Sekar menghela nafasnya dengan begitu dalam. Tak lama pintu kamarnya terbuka. Ada bi Inah yang datang mengantarkan minuman dan beberpa cemilan untuknya.
Bi Inah meletakkan nampan tepat di hadapan Sekar duduk. "Kenapa duduknya di lantai, Non?"
Sekar menggeleng pelan, pandangannya terlihat kosong. "Gak papa, Bik."
"Non Sekar teh sudah besar, cantik lagi!" puji bi Inah seraya mengelus rambut panjang Sekar.
"Kalau zaman bibi dulu ya, Non, nakal seperti itu teh wajar. Namanya juga masanya kita untuk melewati itu," ujar bi Inah perlahan-lahan memberi Sekar masukan agar anak majikannya ini tidak begitu stres. "Non Sekar teh Cuma salah di pergaulan. Mungkin karena dulunya temen-temen Non Sekar pada baik-baik, terus bertemu teman di Jakarta yang cara bergaulnya beda, Non Sekar jadi ikut-ikut dan ada keinginan untuk mencoba hal baru."
KAMU SEDANG MEMBACA
SEKARAKSARA (new version) [END]
Teen FictionSekar, Permata Merah Alantra sebutan gadis itu. Ia mempunyai misi untuk membuat orang tuanya pulang dari luar negeri dengan berusaha menjadi siswi paling berprestasi, ia dikenal multitalenta dan acap kali berkontribusi dalam perlombaan sekolah. Teru...