"Silahkan." Adrian membuka pintu Mazda 2 miliknya dan mempersilahkan gadis dengan senyum menawan itu masuk.
Ivonne tersenyum semakin lebar. Dari pantulan sinar matahari sore itu, Adrian bisa melihat kedua pipinya yang merona.
Gawat! Adrian cuma ingin bersikap sopan. Ivonne terlihat kesulitan dengan dua buku tebal yang dibawanya jadi Adrian berinisiatif membukakan pintu mobil untuk gadis itu.
Adrian harap Ivonne tidak menyalah artikan bantuannya. Itu sering terjadi. Kenapa perempuan mudah sekali terbawa perasaan? Atau dia sebagai lelaki yang bersikap berlebihan?
"Aku ngerepotin kakak ya?" Ivonne terlihat sungkan padahal gadis itu sudah berani mengiriminya pesan dan meminta untuk pulang bareng. Kalau Ivonne merasa tidak enak sekarang, bukankah sudah terlambat?
Adrian mengulas senyumnya yang membuat si gadis jadi salah tingkah. Cewek-cewek bilang senyumnya bisa membuat mereka meleleh. Ada-ada saja! Keluarganya justru menganggap senyumnya mencurigakan. Adrian menyembunyikan sesuatu. Adrian membuat masalah. Adrian tengah merencanakan sesuatu. Senyumnya tidak berlaku untuk keluarganya.
"Gak lah. Aku juga sekalian pulang."
"Makasih ya kak."
"Baru juga jalan. Belom nyampe kali."
Ivonne terkekeh membuatnya nampak makin mempesona. Tidak! Adrian tidak sedang tertarik pada Ivonne. Dia akui Ivonne memang cantik, sama seperti Luna. Tapi cantik saja tidak cukup untuk membuat Adrian tertarik dalam arti kata suka, sayang, apalagi cinta.
Ah! Dia sedang malas berurusan dengan percintaan. Apalagi setelah hubungannya yang terakhir berakhir dengan keterpaksaan. Adrian merasa bersalah pada gadis itu.
Perasaan bersalah? Itu bukan satu-satunya kesalahan yang ia buat. Ada yang lebih buruk dari itu. Deg! Dadanya mendadak berdenyut nyeri kala mengingat semua kesalahannya. Ada banyak masalah dan kekacauan yang ia buat tapi tak ada yang sefatal satu itu. Adrian harus membayarnya entah bagaimana caranya.
"Kak, lampunya udah hijau." Ivonne membuyarkan lamunannya. Suara nyaring klakson di belakangnya meminta hatchback merahnya untuk segera melaju.
"Sorry." Adrian kembali menjalankan mobilnya.
"Kakak lagi mikirin apa? Bahaya lho ngelamun sembari nyetir."
Gadis ini perhatian juga tapi Adrian tidak mungkin menceritakan masalahnya. Terlalu pribadi dan terlalu berbahaya untuk diumbar.
"Lagi banyak tugas aja. Pusing nih."
"Kuliah kedokteran berat ya kak?"
"Jurusan lain juga sama beratnya."
"Iya sih. Aku paling pusing kalau bikin work sheet terus gak balance. Pusing nyari selisihnya..." Ivonne terus bercerita. Tentang mata kuliahnya, dosennya, teman-temannya. Gadis itu memang banyak bicara. Beda dengan sahabatnya yang lebih pendiam dan sulit diajak bicara.
Adrian selalu mengajak gadis itu bicara duluan tapi Mia hanya merespon dengan sepatah dua patah. Kalau Adrian mencoba bersikap lebih santai dan akrab, gadis itu ketakutan. Apa wajahnya menakutkan? Padahal dia sudah sering tersenyum di hadapan Mia. Dia juga bicara pelan dengan nada lembut. Dia berusaha memberikan perhatian. Susah sekali mendekati Mia. Seperti ada tembok tak kasat mata diantara mereka berdua. Mia terlalu menutup diri kecuali dengan sahabat sejak SMPnya. Bagaimana caranya agar gadis itu mau terbuka padanya? Kadang Adrian ingin bertukar tempat saja dengan Tommy.
"Tuh kan kakak melamun lagi." Ivonne terlihat cemberut, mungkin merasa diabaikan. Iya sih, gadis itu bercerita panjang lebar sementara Adrian berkelana di dunia lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
Just Three Words
Teen FictionTrauma di masa lalu membuat Amelia Renata (Mia) menghindari apapun yang berhubungan dengan darah. Cairan merah mengerikan itu selalu membuatnya panik dan ketakutan. Maka ketika Adrian Arthadinata masuk dalam lingkaran pertemanannya, Mia berusaha men...