28. My Girl

142 1 0
                                    

Adrian menarik napas panjang usai menceritakan apa yang ingin diketahui Eric sejak kemarin. Terpaksa, daripada si usil itu terus menyindir dan merengek padanya. Lagipula memang tidak ada yang bisa ia sembunyikan dari Eric. Kedua saudara itu sudah saling berbagi rahasia dari kecil, sama seperti Mia dan keempat sahabatnya. Hal yang membuat Adrian maklum ketika Nina mengetahui rahasia kecil kotornya.

Rahasia? Adrian terkekeh sendiri. Apanya yang rahasia kalau akhirnya semua orang juga tahu. Pria kejam itu, ayahnya juga pasti akan tahu. Anak buah dan mata-mata ayahnya pasti sudah melaporkan banyak hal. Pantas pria angkuh itu langsung balik ke Indonesia.

Tamat riwayat gue...

"Udah bener dia jauhin lo, kenapa malah lo deketin. Gini kan jadinya."

Adrian menoleh, menatap sepupunya yang bicara tapi matanya malah menatap pemandangan Jakarta dari atas rooftop Artha Medika Hospital.

"Kayaknya dia beneran bawa sial buat lo."

Adrian melotot, menatap tajam orang di sebelahnya dengan pandangan kesal.

"Jangan ngomong sembarangan lagi." Ia memperingatkan.

"Lagian kenapa lo gak hati-hati sih," omel Eric padanya.

Sejak awal bercerita, sepupunya itu sudah mengoceh tak karuan.

"Mereka bertujuh, gue sendirian. Bagus gue masih hidup."

"Makanya jangan sok jago! Pake nantangin mereka segala, lo lagi gak ada kerjaan? Untung anak orang gak ikut kenapa-kenapa." Eric bersungut-sungut. "Kalo Mia sampai luka juga, mau ngomong apa lo sama bokap nyokapnya."

Adrian tersenyum kecil. Ia terima saja semua kemarahan Eric. Itu bentuk peduli dan sayang sepupunya. Bukti kalau Eric mencemaskannya.

"Om Surya bakal marah-marah nanti. Dia bisa ngira lo bikin masalah lagi."

"Emang gue bikin masalah kan."

Eric mentoyor kepalanya. Adrian meringis seraya mengusap kepalanya yang tadi dipukul Eric.

"Gue kira lo udah tobat."

"Lo aja belom tobat."

"Kita lagi bahas lo, bukan gue."

Eric mencondongkan tubuhnya, menatapnya lekat. "Kalau lo dihajar gimana?"

Adrian tertawa. "Pasrah gue."

Eric mendengus. "This is not you," ujarnya kemudian. "Biasanya lo ngelawan, berkelit, kabur malah, gak pasrah gitu aja."

Eric kembali menatapnya. Raut wajahnya teramat serius membuat Adrian sedikit ketar-ketir. Dia tidak sepenuhnya jujur pada Eric. Adrian tetap tak bisa menceritakan yang sebenarnya. Dia sudah janji.

"Lo gak bakal berantem kalau gak terpaksa. Lo gak gampang diprovokasi. Gue tahu lo Yan."

Adrian memalingkan wajah saat tatapan sepupunya terasa tengah menelanjanginya.

"Lo lagi ngelindungin siapa?"

Adrian tertawa. Sial! Tidak akan mudah membohongi Eric karena Eric terlalu mengenalnya.

"Apa yang lo tutupin?" tuduh Eric lagi.

Adrian menghela napas. Ia berbalik, bersandar pada tembok pembatas rooftop, menggigit bibirnya sendiri. Ia tak bisa menjawab pertanyaan itu. Kepalanya menunduk, memperhatikan sedikit noda merah pada piyama berwarna biru yang dipakainya. Lukanya berdarah lagi. Dia terlalu banyak bergerak.

"Lo diem berarti bener," simpul Eric.

Adrian tak menyangkal.

"Lo gak percaya sama gue?" Eric terdengar kecewa.

Just Three Words  Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang