"Kalau gak ada yang mau kamu bicarakan, aku pulang," tegas gadis itu setelah lima belas menit mereka saling berdiam diri.
Adrian meringis lalu menarik napas panjang. Kenapa sulit sekali? Padahal dia sudah mempersiapkan kata-kata di rumah tadi tapi begitu sampai dan berhadapan dengan gadis dari masa lalunya, lidahnya mendadak kelu. Sial.
"I'm sorry." Satu kalimat pendek yang keluar dari mulutnya mampu menghentikan pergerakan gadis berambut panjang yang sudah berdiri dari kursinya. Gadis itu terkekeh pelan, menertawakannya mungkin.
"Cuma itu?" tanyanya sinis.
"Ya cuma itu."
"Gak ada yang perlu kamu jelasin gitu." Gadis itu kini menyindir.
"Apa itu masih berguna sekarang?"
Raut wajah gadis itu memerah. Dia marah.
"Memang seharusnya aku gak datang." Gadis itu beranjak pergi.
"I didn't want to hurt you," tukas Adrian cepat. Padahal lebih baik kalau ia membiarkan gadis itu pergi. Toh tak ada yang perlu dijelaskan lagi. Semuanya sudah terjadi. Tidak ada yang bisa diperbaiki lagi.
"You've already did," desis sang gadis. Kekesalan dan amarah makin membuncah kalau menilik dari suara dan ekspresi wajahnya.
"Secara fisik maksudku," ralat Adrian. "Aku gak mau kamu terluka lagi gara-gara aku. Aku takut aku gak bisa melindungimu. I failed before."
Gadis itu terdiam.
"Harusnya aku gak pergi gitu aja. Harusnya kita bicara tapi aku merasa sangat buruk waktu itu. Aku takut ketemu kamu. I guess I'm not that brave boy anymore. I'm just a coward."
"Memang." Wow. Satu kata itu berhasil menikam jantungnya. Meski Adrian sendiri mengakui kebodohan dan kesalahannya, tetap saja respon gadis itu menyakitkan.
Apa dia berharap dia akan mendapat penghiburan? Pengampunan? Mana mungkin. Tidak disiram green tea latte yang diminum gadis itu saja sudah untung.
"Aku gak berharap akan dimaafkan."
"Kamu pikir aku mau maafin kamu," balas gadis itu cepat, tetap dengan nada juteknya. Dulu, marah dan merajuknya gadis ini terlihat menggemaskan di matanya tapi sekarang Adrian merasa ngeri. Delikan matanya membuat wajah cantik itu terkesan garang. Lebih garang dari Clara.
"Enggak sih. Aku cuma... Ingin menyelesaikan apa yang harusnya aku selesaikan."
Kedua tangan gadis itu mengepal. Amarah yang terpancar dari kedua bola mata indahnya semakin menguar. "I hate you," umpatnya lalu pergi begitu saja.
Adrian menghela napas. Kayaknya dia sudah salah langkah. Adrian yang mengajak gadis itu bertemu di Orange Cafe pada jam makan siang demi membicarakan masa lalu. Adrian ingin meminta maaf secara benar dan memberikan penjelasan atas tindakan bodohnya dulu. Namun, gadis itu tak mau dengar. Adrian pikir itu juga tak berguna lagi. Dia malah membuat gadis itu marah. Bodoh sekali!
Tepukan tangan terdengar dari belakangnya seolah mengapresasi drama yang baru saja terjadi. Adrian memutar bola matanya, malas.
"Kalo minta maaf itu yang bener. Bawain bunga kek, coklat kek atau cupcake. Cindy kan paling suka cupcake. Ini lo cuma bawa diri ya jelaslah dia sewot."
Eric menggeser kursi di hadapannya yang tadi ditempati Cindy. Sepupunya menyeringai jahil. Adrian tahu dia tengah diejek.
"Mau dibaikin kayak apa juga, dia gak bakal maafin gue."
KAMU SEDANG MEMBACA
Just Three Words
Novela JuvenilTrauma di masa lalu membuat Amelia Renata (Mia) menghindari apapun yang berhubungan dengan darah. Cairan merah mengerikan itu selalu membuatnya panik dan ketakutan. Maka ketika Adrian Arthadinata masuk dalam lingkaran pertemanannya, Mia berusaha men...