29. Heart Beat

125 1 0
                                    

Dia pacarku.

My girlfriend.

Dua kata itu terus terngiang di telinga Mia dua hari ini, membuat jantungnya berdetak lebih cepat pun membuatnya sering melamun.

Kak Ian sebenarnya ngapain sih?

Pertanyaan apa dan kenapa terus mengusik benaknya. Kenapa Adrian mengakuinya sebagai pacar di depan Eric, kakaknya bahkan mantan pacarnya. Apa yang Adrian pikirkan? Apa yang Adrian mau?

Mia tidak sebodoh itu mengira Adrian sungguhan ingin memacarinya. Adrian tidak pernah mengatakan suka, tidak pernah mengajaknya berpacaran. Hubungan di antara mereka saja tidak jelas. Teman atau musuh Mia tidak yakin, meski Adrian bilang mereka berteman dan Mia memang ingin mereka kembali berteman. Satu-satunya hubungan yang jelas di antara mereka adalah insiden di masa lalu dan masa sekarang.

Mia tersentak saat menyadari kemungkinannya. Apa ini ada hubungannya dengan insiden itu? Semacam kompensasi? Biar bagaimanapun Adrian sudah dirugikan. Adrian berhak meminta sesuatu sebagai gantinya. Layaknya cerita dalam novel-novel remaja yang pernah di bacanya, Adrian mengajaknya berpacaran agar bisa melakukan apapun sekehendak hatinya.

Aku akan lakukan apapun yang kakak pinta, itu yang pernah dikatakannya. Adrian menolak tawarannya tapi mana tahu Adrian berubah pikiran. Mia akan menjadi budak Adrian entah sampai kapan, mungkin seumur hidup. Mia mengerang pelan, ia menutup wajah dengan kedua tangannya. Tidak, Mia tidak mau. Mia menyesal pernah menawarkan hal bodoh. Mia juga menyesal karena tidak protes kemarin, malah lari karena malu dan terkejut. Oh Tuhan.

"Amelia, kamu sakit?"

Mia mengerjapkan matanya saat tanya itu menyentak lamunannya.

"I-iya pak," cicitnya malu. Mia melamun di tengah perkuliahan dan sekarang semua mata temannya menuju ke arahnya.

"Kalau kamu sakit, kamu bisa ke ruang kesehatan dulu."

"Sa-saya gak sakit pak." Mia menggeleng seraya menggigit bibirnya.

"Kalau begitu perhatikan penjelasan saya."

Mia mengangguk.

"Amelia!" Mia hampir terlonjak dari kursinya. Jantungnya memompa cepat. Dia merasa sedikit gemetar mendengar namanya dipanggil sekeras itu.

"I-iya pak. Maaf." Mia menyadari kesalahannya.

Sepanjang mata kuliah itu Mia tak lagi bisa fokus. Bukan karena Adrian dan perkataan anehnya kemarin tapi karena rasa malu ditegur dan dimarahi dosen di depan teman-temannya. Mia tidak pernah dimarahi guru seumur hidupnya.

"Lo kenapa Mi?" Ivonne bertanya setelah dosen galak yang tadi menegur Mia baru saja keluar ruangan.

Mia menggeleng dan tersenyum sebagai jawaban. Tidak mungkin ia cerita pada Ivonne tentang kegundahannya saat ini. Mia malu dan juga tidak mau menyakiti Ivonne. Bagaimanapun Ivonne pernah memiliki rasa pada Adrian. Mia tidak bisa membayangkan bagaimana reaksi Ivonne kalau tahu Adrian mengakuinya sebagai pacar.

"Tom, ikut makan siang bareng gak?" Ivonne tiba-tiba berteriak ketika Tommy lewat di depan mereka dengan tas yang disandang di bahu kirinya. Entah kenapa Mia berdebar menunggu jawaban Tommy.

"Sorry, gue ada urusan. Lo duluan aja." Laki-laki yang hari ini memakai polo shirt biru dan celana denim hitam itu lekas berlalu.

Mia menghela napas kecewa. Tommy masih marah padanya. Sejak kemarin Tommy mengabaikannya, pesan dari Mia tidak dibalas. Tommy juga memilih duduk di belakang bersama anak-anak lelaki ketimbang bersama Ivonne dan dirinya.

Just Three Words  Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang